Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Jumat, Mei 08, 2009

Profesi Guru, Masihkah Profesi yang Diminati?

25/08/2008
Oleh: Sudirman Siahaan

Sampai tahun 1970-an, profesi guru dirasakan sebagai profesi panggilan yang benar-benar menjadi pekerjaan pilihan atau idaman (selected profession) di kalangan masyarakat. Artinya, profesi guru menjadi pilihan yang sangat diminati dan dihargai masyarakat. Bagaimana perkembangan profesi guru dewasa ini?

Guru merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perluasan kesempatan layanan belajar. Itulah sebabnya berbagai negara memberikan perhatian yang besar dalam pengadaan atau penyiapan tenaga guru. Penyiapan tenaga guru menuntut adanya political will dari sesuatu negara dalam mengalokasikan anggaran belanjanya untuk mempersiapkan atau mendidik para tenaga calon guru (pre-service teacher training). Penyediaan anggaran belanja yang memadai juga dibutuhkan untuk secara terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para guru melalui berbagai kegiatan, baik yang berupa pendidikan dan pelatihan (in-service teacher training), kegiatan penelitian dan inovasi, maupun kegiatan seminar.

Tentu siapa saja akan sependapat bahwa “Guru yang bermutu akan menghasilkan bangsa yang bermutu”. Satu hal yang kemungkinan juga belum hilang dari ingatan atau catatan perjalanan bangsa Indonesia mengenai sekelumit kisah gemilang guru Indonesia pada masa lampau, yaitu sekitar tahun 1960-an. Pada masa tersebut, status profesi guru Indonesia sangat dihargai, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain dan secara khusus di negara tetangga Malaysia. Guru Indonesia tidak hanya dihargai tetapi juga dibutuhkan di Malaysia.

Pada era tahun 1960-an, pemerintah Malaysia membutuhkan banyak tenaga guru Indonesia untuk mengajar di berbagai jenjang pendidikan di Malaysia. Dalam kaitan ini, Pemerintah Malaysia tampaknya melihat bahwa guru Indonesia adalah guru yang memenuhi kualifikasi mereka untuk mengajar di Malaysia. Di samping itu, mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar di berbagai sekolah di Malaysia kemungkinan dinilai Pemerintah Malaysia mempunyai nilai tambah lebih, yaitu antara lain: (a) kedekatan dari unsur kebudayaan (serumpun-Melayu), (b) kebahasaan yang juga relatif mudah dipahami bersama, dan (c) kedekatan dari menu makanan yang juga relatif sama.

Sehubungan dengan kebutuhan Pemerintah Malaysia akan tenaga guru dan dosen untuk mengajar di Malaysia, Pemerintah Indonesia memberikan respons yang positif. Kebutuhan Pemerintah Malaysia pada waktu itu ternyata tidak hanya mengenai tenaga guru, tetapi juga kebutuhan untuk mendidik para calon guru yang mereka butuhkan. Dalam kaitan ini, para peserta didik lulusan Sekolah Menengah Malaysia diberikan beasiswa oleh pemerintah Malaysia untuk belajar di berbagai universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang menghasilkan guru (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK) di Indonesia.

Kebijakan yang ditempuh Pemerintah Malaysia pada tahun 1960-an tersebut jelas memperlihatkan betapa penting dan strategisnya posisi atau keberadaan guru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah Malaysia tidak hanya mengirimkan guru-gurunya untuk mengikuti pendidikan lanjutan, tetapi juga secara simultan mengirimkan para lulusan Sekolah Menengah Malaysia untuk mengikuti pendidikan guru di Indonesia.

Bagaimana kita menyikapi kondisi tersebut di atas? Apakah kita akan dengan bangga mengatakan bahwa bangsa Indonesia pada umumnya dan para guru khusunya adalah sumber daya manusia yang bermutu (atau “lebih pintar” dari Malaysia)? Mungkin pada era tahun 1960-an tersebut ada benarnya bahwa guru kita atau bangsa kita dinilai “lebih bermutu” sehingga Malaysia bersedia mengimpor guru Indonnesia dan sekaligus juga mengirimkan para lulusan sekolah menengah mereka untuk belajar di berbagai perguruan tinggi Indonesia.

Mengapa keadaan tersebut di atas tidak dapat dipertahankan terus? Mengapa justru keadaan yang sebaliknya sekarang yang kita alami? Apakah kita “terlena” dengan kebanggaan era tahun 1960-an tersebut dan menjadi lupa untuk memosisikan keberadaan guru Indonesia seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia? Dalam kaitan ini, tentunya dituntut berbagai upaya agar profesi guru di Indonesia menjadi profesi yang dihargai dan prospektif sehingga diminati dan menjadi pilihan utama di kalangan para lulusan Sekolah Menengah.

Era di mana profesi guru sangat dihargai dan diminati telah berlalu. Dewasa ini, kecenderungan yang terjadi adalah kurang diminatinya lembaga pendidikan tinggi keguruan atau kependidikan oleh para lulusan Sekolah Menengah. Kemudian, apabila dicermati secara sekilas, maka jenis perguruan tinggi yang cenderung dipilih atau diminati oleh para lulusan Sekolah Menengah yang berprestasi adalah perguruan tinggi yang non keguruan atau yang bukan menghasilkan guru.

Jika para lulusan Sekolah Menengah yang berprestasi pada umumnya cenderung memilih perguruan tinggi yang non-LPTK, maka siapa yang memilih masuk ke lembaga pendidikan penghasil guru (IKIP atau FKIP)? Dari pengamatan dapatlah dikatakan secara sederhana bahwa para lulusan Sekolah Menengah yang prestasi belajarnya sedang-sedang atau pas-pasan saja yang masuk ke LPTK ditambah lagi dengan mereka yang tidak diterima masuk di universitas non-LPTK. Sekalipun demikian, tidaklah dipungkiri bahwa masih ada para lulusan Sekolah Menengah yang berprestasi yang memang terpanggil untuk memilih masuk ke IKIP atau FKIP karena memang didorong oleh keinginan untuk menjadi guru tetapi jumlahnya tentulah tidaklah banyak.

Keadaan tersebut di atas seiring dengan pandangan masyarakat yang memandang bahwa LPTK adalah “kurang bergengsi” sehingga mereka cenderung memotivasi anak-anaknya yang berprestasi untuk terlebih dahulu mencoba masuk ke universitas non-LPTK. Itulah sebabnya, perguruan tinggi penghasil guru cenderung dijadikan sebagai pilihan terakhir. Apakah hal ini berarti bahwa mereka yang memilih masuk ke perguruan tinggi keguruan atau kependidikan adalah “sisa-sisa” dari yang tergusur atau tidak masuk ke perguruan tinggi non keguruan atau kependidikan.

Mengingat keberadaan sekolah yang tersebar ke seluruh pelosok nusantara, maka yang menjadi tempat bekerja para lulusan LPTK juga menyebar ke seluruh nusantara. Sebagai pegawai negeri maka para lulusan LPTK yang diangkat sebagai guru yang berstatus sebagai pegawai negeri harus bersedia ditempatkan di mana saja. Menyadari kemungkinan penempatan para guru yang demikian inilah yang menjadi salah satu motivasi bagi para lulusan Sekolah Menengah untuk tidak memilih masuk ke LPTK.

Setelah ditempatkan di daerah yang jauh dari perkotaan (apalagi yang berada di daerah terpencil, perbatasan, sulit geografisnya), maka peluang untuk dapat pindah ke daerah yang lebih dekat ke kota tentunya juga bukanlah urusan yang mudah. Demikian juga dengan kesempatan untuk mendapatkan pembinaan untuk pengembangan potensi diri agar dapat secara terus-menerus mengembangkan atau meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya bagi kepentingan peserta didik. Yang juga tidak kalah mendasarnya adalah pemenuhan berbagai hak yang melekat pada dirinya sebagai pegawai negeri secara tepat waktu? Konon, para guru yang ditempatkan di berbagai daerah yang demikian ini banyak menghadapi masalah tidak teraturnya mereka menerima gaji dan kenaikan pangkatnya.

Bagaimana dengan fasilitas yang tersedia di sekolah di tempat mereka bertugas? Apabila mereka juga harus menyiapkan sendiri berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pembelajaran, maka tugas mereka juga semakin bertambah. Menghadapi keadaan yang demikian ini, pemerintah telah memberikan kekhususan (perlakuan khusus) kepada guru yang bertugas di berbagai terpencil, perbatasan, atau yang sulit geografisnya.

Berbagai media massa cetak dan bahkan elektronik pernah mengungkapkan kehidupan guru yang terpaksa harus bekerja sambilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, baik sebagai tukang ojek, membuka warung kecil-kecilan, bertani atau berkebun, atau makelar. Tentulah para guru ini membandingkan penghasilan mereka dengan penghasilan yang diterima oleh teman-teman mereka yang sama-sama sependidikan tetapi hidupnya lebih beruntung karena mereka bekerja di bidang lain yaitu bukan sebagai guru. Sebenarnya, jika ditilik sedikit cermat, berkat jasa para gurulah yang telah mendidik dan menghasilkan generasi bangsa yang berpendidikan dan maju serta mungkin juga berpenghasilan baik.

Dengan diberlakukannya beberapa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, seperti pemberlakuan angka kredit bagi pengembangan karier guru (kenaikan pangkat) yang disertai pemberian tunjangan fungsional, pemberian tunjangan kemahalan bagi mereka yang bertugas di daerah tertentu, dan sertifikasi guru diharapkan akan dapat secara bertahap menjadikan profesi guru sebagai profesi yang diminati. Di samping kebijakan tersebut, tampaknya perlu dijajaki kemungkinan penyelenggaraan pendidikan guru berasrama yang disertai dengan pemberian Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dan pengangkatan sebagai calon pegawai negeri sipil segera setelah lulus pendidikan.

http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=84

0 komentar: