Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Jumat, Mei 08, 2009

Mungkinkah Model TOEFL Diterapkan dalam Kegiatan Pembelajaran?

18/09/2008
Oleh: Sudirman Siahaan*

Istilah TOEFL atau Test of English as a Foreign Language merupakan alat penilaian kemampuan berbahasa Inggris seseorang yang akan melanjutkan pendidikannya di negara-negara yang berbahasa Inggris (English Speaking Countries). Setiap orang bebas untuk belajar bahasa Inggris di mana saja, kapan saja dan berapa lama, dan dengan cara apa saja. Tetapi ada satu hal yang sudah sangat jelas yaitu apabila seseorang berencana untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, maka dia harus dapat membuktikan bahwa dirinya telah menguasai bahasa Inggris. Sebagai bukti bahwa seseorang telah mampu memahami bahasa Inggris adalah melalui uji kompetensi dengan menggunakan TOEFL. Bahkan beberapa negara yang dijadikan sebagai negara tujuan untuk melanjutkan pendidikan, menetapkan nilai (score) TOEFL minimal misalnya saja 500 atau 550 atau bahkan juga 600.

Dengan bermodalkan nilai TOEFL yang ditentukan (ada juga persyaratan lain yang ditambahkan selain nilai TOEFL oleh perguruan tinggi tertentu, misalnya nilai GRA), maka seorang lulusan program S-1 dapat diterima untuk mengikuti pendidikan S-2 atau S-3 di berbagai perguruan tinggi di luar negari. Ada juga perguruan tinggi di negara tempat tujuan melanjutkan pendidikan yang mempersyaratkan nilai tes bahasa Inggris model lainnya (bukan TOEFL) seperti ILETS dengan nilai minimal tertentu. Mengingat kemampuan tes bahasa Inggris yang dikembangkan sejauh ini sudah sedemikian handalnya sehingga perguruan tinggi di luar negeri memberlakukannya sebagai persyaratan penerimaan mahasiswa. Manakala tidak tersedia lembaga penyelenggara TOEFL, maka seseorang dapat menggunakan tes bahasa Inggris yang lainnya dengan ekuivalensi tertentu.

Mengerjakan TOEFL atau tes bahasa Inggris lainnya yang sederajat dengan mencapai nilai tertentu sangat dipercayai dapat memprediksi kemampuan seseorang untuk mengikuti program pendidikan lanjutan di luar negeri (program master atau doktor). Keadaan yang demikian ini telah terbukti dari mereka yang berhasil menyelesaikan program pendidikannya di berbagai negara.

Bagaimana apabila model penilaian seperti yang diperlihatkan oleh TOEFL atau tes bahasa Inggris lain yang sederajat yang dapat memprediksi kemampuan seseorang mengikuti pendidikan lanjutan, diterapkan ke dalam model pendidikan formal persekolahan? Artinya, terbuka bagi lembaga tertentu untuk mengajukan diri sebagai penyelenggara penilaian kompetensi seseorang, baik dalam menyelesaikan pendidikan SD, SMP, atau Sekolah Menengah.

Apabila telah ada lembaga penilaian (testing center) di berbagai kabupaten/kota atau bahkan mempunyai jaringan sampai ke tingkat kecamatan dan desa, maka siapa saja yang telah mempersiapkan dirinya belajar sedemikian rupa, baik yang belajar melalui jalur persekolahan, belajar melalui model home schooling, maupun secara otodidak, mereka dapat mengajukan diri untuk dinilai tingkat kompetensinya. Dalam kaitan ini, sebagaimana yang juga ditentukan bagi peserta TOEFL untuk nilai atau score tertentu, maka Lembaga Penilaian ini juga perlu menetapkan nilai atau score berapa yang minimal perlu dicapai seseorang agar dapat dikatakan telah berhasil menyelesaikan pendidikan SD, SMP atau SMA/SMK.

Keberadaan Lembaga Penilaian yang dilontarkan di dalam tulisan ini haruslah juga bersifat professional dan independen. Sertifikat atau apapun namanya, yang diberikan kepada seseorang setelah mengikuti tes dan berhasil mencapai score atau nilai tertentu, dapat digunakan untuk melanjutkan kegiatan pendidikan atau pembelajarannya ke jenjang yang lebih tinggi. Jika sertifikat yang diperoleh menyatakan bahwa seseorang telah kompeten untuk pendidikan SMA, maka semua perguruan tinggi haruslah memperlakukan pemegang sertifat tersebut sebagai seseorang yang berkompeten untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.

Implikasi lebih jauh lagi adalah bahwa setiap orang dapat kapan saja untuk mengikuti tes dari Lembaga Penilaian yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu yang secara bersamaan dalam hal lulus-lulusan bagi yang belajar secara otodidak atau melalui home-schooling. Lembaga Penilaian yang diusulkan di dalam tulisan ini tidak hanya untuk kepentingan pendidikan formal persekolahan saja tetapi juga untuk kepentingan pendidikan non-formal.

Dengan adanya Lembaga Penilaian tersebut di atas, maka ada satu hal yang bersifat luwes, yaitu bahwa tidak ada lagi pembatasan usia bagi seseorang untuk dapat menyelesaikan pendidikan SD, SMP, atau SMA. Mengapa? Seseorang yang kemungkinan saja disebabkan oleh satu dan lain hal, selama bertahun-tahun tidak mempunyai kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal persekolahan secara berkelanjutan. Tetapi setelah dewasa, barulah yang bersangkutan sadar dan merasakan adanya kebutuhan akan pentingnya memiliki sertifikat, misalnya saja sertifikat pendidikan SMA. Untuk kepentingan ini, yang bersangkutan boleh saja secara langung mendatangi Lembaga Penilaian agar diberi kesempatan untuk mengerjakan tes yang mengindikasikan dirinya telah kompeten untuk pendidikan SMA.

Apabila dilihat dari segi usia, kemungkinan seseorang yang mengikuti tes melalui Lembaga Penilaian mengenai kemampuan atau kompetensinya menyelesaikan pendidikan SD, SMP, atau SMA/SMK sudah tidak lagi berada pada usia anak SD, SMP, atau SMA/SMK. Keberadaan Lembaga Penilaian yang diusulkan tersebut di atas memberikan keluwesan kepada setiap orang untuk melakukan penilaian atas kompetensi dirinya setiap saat sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan hasil tes yang diselenggarakan oleh pihak Lembaga Penilaian, maka setiap orang akan dapat mengetahui kapan saja mengenai apakah dirinya telah kompeten dalam menyelesaikan penddikan SD, SMP atau SMA/SMK.

Dengan adanya Lembaga Penilaian, maka motivasi masyarakat untuk belajar mandiri akan semakin tumbuh dan berkembang. Setiap orang akan mempunyai pilihan apakah dia harus mengembangkan potensi dirinya melalui jalur pendidikan formal persekolahan, melalui jalur home schooling atau belajar secara otodidak. Pada titik waktu tertentu setelah merasa cukup banyak belajar dan meyakini betul bahwa dirinya telah memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengikuti tes mengenai penguasaan materi pelajaran SD, SMP, atau SMA/SMK, maka dia dapat mendatangi Lembaga Penilaian agar diberikan waktu utuk mengerjakan tes seperti yang dikehendaki.

Anak-anak yang kemungkinan merasa “terkungkung” atau kurang menikmati kebebasan berekspresi melalui lembaga pendidikan persekolahan karena berbagai aturan main yang diterapkan, kegiatan belajar yang dirasakan kurang menyenangkan, dan keharusan untuk datang belajar ke sekolah setiap hari, maka anak-anak tersebut dapat meninggalkan atau keluar dari sekolah dan untuk kemudian mengikuti kegiatan belajar melalui cara lain yang dinilai lebih sesuai dengan keinginan dan kecepatan belajarnya.

Dari uraian tersebut di atas, kiranya perlu mendapatkan kajian tentang kemungkinan adanya upaya untuk mengembangkan pusat-pusat penilaian (testing centers) yang professional dan independen. Fungsi dari Lembaga Penilaian ini tidak hanya terbatas untuk kepentingan pendidikan formal persekolahan saja, tetapi juga untuk kepentingan pendidikan non formal. Dengan kondisi yang demikian ini, maka tentu saja tidak lagi ada penyelenggaraan ujian nasional yang serempak dilaksanakan di seluruh tanah air. Setiap orang, apakah mereka adalah peserta didik dari pendidikan persekolahan atau anggota masyarakat, dapat melakukan penilaian terhadap kompetensi dirinya melalui Lembaga Penilaian. Melalui kondisi yang tercipta sedemikian ini akan membuka peluang bagi sebagian orang yang kecepatan belajanya tinggi tidak perlu misalnya harus menunggu selama 3 (tiga) tahun untuk kompeten menyelesaikan pendidikan SMP. Semoga pemikiran yang disampaikan melalui tulisan ini mendapatkan kajian lebih lanjut.


http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=93

0 komentar: