Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Sabtu, April 18, 2009

Peranan Guru dan Orang Tua dalam Pemberdayaan Anak Luar Biasa

Erfan Agus Munif

Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan setiap anak manusia di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sebagai bagian dari anak manusia, anak luar biasa (anak cacat) juga mempunyai hak yang sama dalam menempuh bidang pendidikan. Untuk dapat berdaya guru dan orang tua memegang peranan yang sangat penting. Sikap positif orang tua akan sangat membantu memberdayakan anak luar biasa

Kata kunci: analk luar biasa, pemberdayaan

PENDIDIKAN nasional, pada dasarnya diperuntukkan bagi segenap rakyat negeri ini tanpa terkecuali. Itulah maka, kehadiran sekolah-sekolah khusus (bagi yang cacat maupun yang berbakat), serta sekolah kejuruan, disamping sekolah umum yang cukup banyak jumlahnya, tetap akan masih sangat dibutuhkan. Terutama lembaga-lembaga pendidikan formal bagi anak yang tuna --tuna netra, tuna rungu wicara, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna laras-- juga tentu membutuhkan perhatian besar kita, bagi mekarnya potensi yang tersimpan dalam dirinya. Mereka tetap merupakan alternatif sumber daya manusia, yang dalam serba keterbatasannya diharapkan mampu menyumbang darma-bakti bagi kejayaan negeri. (Mulyadi,2001)
Penyandang cacat menurut Undang-undangn No 4 tahun 1997 didefinisikan sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisisk dan/mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya” Yang termasuk penyandang cacat dalam hal ini adalah penyandang cacat fisik, penyandnag cacat mental, serat penyandang cacat fisik dan mental.
TANGGAL 3 Desember ditetapkan PBB sebagai Hari Internasional penyandang Cacat, yang diawali dengan peristiwa Majelis Umum PBB menerima Resolusi No. 37/52 tentang Program Aksi Dunia bagi peningkatan Kualitas Hidup Penyandang Cacat tanggal 3 Desember 1982.
Resolusi tersebut menekankan pentingnya persamaan hak dan kesempatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup mereka, termasuk di bidang pendidikan.
Sebagaimana warga masyarakat umumnya, para penyandang cacat juga memerlukan pendidikan. Pendidikan dibutuhkan oleh setiap orang untuk memperbaiki status dan kualitas kehidupan mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang warga masyarakatnya terdidik. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi penyandang cacat sangat terbatas dibandingkan orang yang tidak cacat. Menurut UNESCO, dari 93 juta anak penyandang cacat berusia di bawah 15 tahun (usia wajib belajar) di kawasan Asia dan Pasifik, hanya 5 persen yang bersekolah.
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Ketentuan itu kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Peserta didik yang mendapat Pendidikan Luar Biasa menurut PP itu adalah yang mengalami kelainan fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa), kelainan mental (tunagrahita ringan dan sedang), kelainan perilaku (tunalaras) dan kelainan ganda.
Untuk melaksanakan sistem Pendidikan Luar Biasa, dibentuk SLB-A, untuk tunanetra, SLB-B, untuk tunarungu, SLB-C, untuk cacat mental, SLB-D, untuk tunadaksa, SLB-E, untuk tunalaras dan SLB-G, untuk tunamenda.
SEKOLAH khusus bagi penyandang cacat dibuat atas pertimbangan bahwa penyandang cacat memerlukan fasilitas khusus dan guru yang terlatih, karena cacat yang mereka alami merupakan hambatan untuk mendapatkan pendidikan secara normal. Bahwasanya penyandang cacat mengalami hambatan untuk mengikuti sistem pendidikan 'normal' dan memerlukan fasilitas khusus serta guru yang terlatih dengan metode pengajaran tertentu, adalah tidak mungkin diingkari. Tetapi kekhususan tersebut tidak harus dengan cara mengelompokkan mereka dalam institusi khusus yang memisahkannya dengan murid yang tidak cacat.
Kritikan terhadap keberadaan sekolah khusus penyandang cacat sudah banyak dilontarkan, terutama dari kalangan penyandang cacat itu sendiri. Penempatan ke dalam apa yang disebut "Sekolah Khusus Penyandang Cacat", menjadikan penyandang cacat dipandang sebagai sesuatu yang 'lain' oleh masyarakat: Padahal sesungguhnya mereka adalah juga warga negara biasa sebagaimana masyarakat lainnya. Keberatan itu cukup beralasan, sebab sekolah merupakan salah satu agen sosialisasi dalam kehidupan seseorang. Di sekolah, murid tidak hanya mendapatkan transformasi ilmu pengetahuan dan
keterampilan saja, tetapi juga nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Melalui Interaksi Sosial di sekolah, seorang anak dapat memahami adanya perbedaan di antara mereka, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang pintar, ada yang malas. Mereka juga melihat adanya kesamaan di dalam suasana yang berbeda-beda itu, yaitu mereka sama-sama murid yang sedang menimba ilmu pengetahuan.
Di dalam perbedaan dan persamaan itu, mereka juga memahami adanya persahabatan dan persaingan, suatu gambaran dari masyarakat yang sesungguhnya. Pemahaman ini akan terekam dalam perilaku mereka dan ini sangat penting jika tiba saatnya mereka terjun ke masyarakat kelak.
Umumnya seseorang yang mengalami kelainan fisik atau mental cenderung untuk kurang percaya diri (minder). Pengelompokan mereka secara khusus dianggap lebih memberikan rasa aman. Untuk sesaat, rasa aman yang diberikan mungkin terpenuhi, namun terbatas di lingkungan tersebut. Pada sisi lain, masyarakat menuntut penyandang cacat untuk hidup secara 'normal'. Sekolah khusus penyandang cacat seperti yang kita kenal selama ini harus diakui tidak membantu proses integrasi sosioal penyandang cacat, karena anak penyandang
cacat tidak disiapkan untuk menghadapi masyarakat yang sesungguhnya. Kecuali itu, anak yang tidak cacat (yang suatu saat terjun ke masyarakat), tidak akan memahami kebutuhan khusus dan problema penyandang cacat secara benar, disebabkan mereka tidak terbiasa untuk bermain, belajar dan hidup dengan penyandang cacat.
Dipersoalkan pula bahwa sekolah khusus penyandang cacat tidak jarang menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam upaya peningkatan status dan penghidupan. Kebanyakan sekolah khusus penyandang cacat menyelenggarakan pendidikan baru sampai tingkat dasar, hanya beberapa pada tingkat menengah. Permasalahan timbul jika lulusan sekolah khusus penyandang cacat bermaksud meneruskan pendidikan tinggi, karena tidak ada sekolah tinggi penyandang cacat.
Sekolah tinggi yang ada umumnya tidak memperhitungkan keberadaan para lulusan sekolah tersebut. Paling tidak hal ini terlihat dari persyaratan pendaftaran yang menyebutkan antara lain "Berijazah sekolah umum". Dianggap suatu hal yang 'aneh' jika mereka mendaftar ke sekolah tinggi. Barulah, dengan kebijaksanaan yang sifatnya intern seorang penyandang cacat dapat masuk ke sekolah tinggi.
Fakta menunjukkan, penyandang cacat yang hadir di sekolah umum mampu mencapai prestasi yang tidak berbeda dengan siswa lain. Tidak jarang prestasi mereka melebihi siswa yang tidak cacat. Kisah sukses penyandang cacat yang mendapat pengakuan di masyarakat, selalu diwarnai dengan latar belakang pendidikan bukan khusus penyandang cacat.
Pendidikan terpadu adalah sistem pendidikan yang lebih memberi keuntungan bagi peningkatan kualitas hidup penyandang cacat, dalam arti bukan hanya mengalihkan penempatan siswa cacat ke sekolah umum, melainkan juga menciptakan suasana iklim pengajaran yang memungkinkan penyandang cacat dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal. Misalnya, menciptakan kurikulum pendidikan guru yang fleksibel, yaitu membeli calon guru sekolah umum dengan kemampuan mengajar murid yang berkelainan. Di samping itu, menciptakan lingkungan sekolah yang memudahkan ruang gerak bagi penyandang cacat.
Dalam masyarakat kehadiran penderita cacat harus dianggap sebagai anggota mayarakat lainnya yang tidak cacat. Elander (dalam Jansen, 1998) mengutarakan 10 peraturan dasar untuk hidup berintegrasi dalam masyarakat, yaitu (1) kehidupan keluarga, penyandang cacat harus mempunyai kebebasan untuk mencari pasangan, mempunyai anak, dan membentuk keluarga sendiri, (2) tempat berlindung, (3) makanan, (4) sekolah, (5) pendidikan dan pelatihan, (6) waktu senggang, (7) pelayanan masyarakat, (8) perhimpunan, (9) peluang-peluang ekonomi, dan (10) partisipasi politik. Dari sepuluh peraturan tersebut dapat diklasifikasikan lima hal yang memegang peranan penting dalam memberdayakan anak penyandang cacat, yaitu (1) integrasi dalam tempat tinggal, (2) berintegrasi dalam sekolah, (3) berintegrasi dalam pekerjaan, (4) berintegrasi dalam kontak sosial, dan (5) berintegrasi dalam hak asasi (jansen. 1998:4).
Banyak orang yang tidak mempunyai pengalaman tentang anak-anak luar biasa akan mempunyai pandangan yang stereotipe bahwa anak luar biasa adalah anak yang harus diperlukan berbeda dengan anak-anak yang tidak mengalami permasalahan. Kondisi seperti menurut Hidayat (1998:2) dapat memberikan gambaran yang suram dan dapat menghambat pemenuhan kebutuhan anak luar biasa ini.

Peranan Orang tua dan Guru
Dalam memandang pendidikan bagi anak penderita cacat, Warlock (dalam Hidayat, 1998:3) membuat beberapa rekomendasi tentang pendidikan anak luar biasa, yaitu bahwa mereka dididik bukan hanya berdasarkan pada kelainan khusus mereka. Melainkan juga karena adanya kebutuhan terhadap pendidikan khusus. Di samping itu mengintegrasikan anak-anak dengan kebutuhan khusus ke dalam sekolah umum dimanapun adalah memungkinkan dan dapat dilakukan. disini keterlibatan orang tua sangat diperlukan. Orang tua mempunyai suatu hak untuk meminta dan melibatkan diri dalam assasenment anak-anaknya dan memutuskan tentang penempatan sekolahnya.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak-anaknya yang mempunyai kelainan tersebut. Kekhususan yang dimiliklnya tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi orang tua sehingga ada kesatuan cara pandang antara orang tua di rumah maupun dengan guru di sekolah.

Bagi anak tuna daksa
Pada umumnya anak tuna daksa tidak hanya mengalami kelainan fisik namun juga mengalami ketidakmampuan lainnya yang sifatnya lebih individual. Menurut Hidayat (1988:8) walaupun dalam kondisi tuna daksa yang berat tapi anak-anak tunadaksa dapat mengembangkan kemampuan kognisinya, serta mampu memahami benda-benda dan orang yang ada di sekitarnya, namun untuk dapat berkembang seperti itu anak tunadaksa harus selalu diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya.
Permsalahan yang banyak dialami selama ini adalah adanya ketidaksadaran orang tua bahwa anaknya dapat berkembang. Selama ini yang menjadi kendala berkembangnya anak tuna daksa adalah keengganan orang tua untuk memberi kesempatan kepada anaknya untuk berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Kebanyakan orang tua sangat khawatir kalau anaknya berinteraksi dengan orang lain, disamping perasaan malu juga ketakutan bahwa anaknya nanti malah maik parah.
Untuk itu maka orang tua harus disadarkan bahwa dengan semakin mengekang anaknya maka perkembangan anaknya akan semakin menurun. Disamping itu harus disadari oleh orang tua bahwa interaksi dengan manusia lain dan lingkungan sekitar itu adalah obat yang paling mujarab bagi anaknya.

dikutip dari : www.jugaguru.com/document.php/document/article/347/24/

0 komentar: