Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, April 19, 2009

ANAK LUAR BIASA TUNA DAKSA PERLU PERHATIAN LEBIH

31 July 2006
Oleh :CAROLINA, SPd.

Semua anak, baik ‘normal’ maupun ‘tuna’ (berkelainan) memiliki kesempatan sama didalam hal pendidikan dan pengajaran. Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikhisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya.

Anak luar biasa diasumsikan berkaitan dengan kondisi jasmani maupun rohani yang berkelainan dibanding anak normal. Oleh karena itu anak digolongkan luar biasa apabila anak itu tidak masuk pada kategori sebagai anak normal baik fisik, mental maupun intelegensianya.

Untuk pendidikan luar biasa atau khusus seringkali disatukan atau terpadu, karena pada dasarnya sekolah luar biasa atau sekolah khusus bukan merupakan upaya untuk memisahkan pendidikan ‘anak-anak tuna’ dari anak-anak normal.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disusun berdasarkan visi terwujudnya pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara atau masyarakat Indonesia berubah dan berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif mengisi kemerdekaan dan menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dalam pasal 15 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, secara jelas dinyatakan bahwa : ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan misalnya tuna netra, tuna rungu, tuna daksa atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan secara berkelompok (inklusif) atau berupa ‘satuan’ khusus pada tingkat dasar dan menengah.”

Penyelenggaraan pendidikan juga menganut upaya pemberdayaan semua komponen masyarakat dalam arti bahwa pendidikan diselenggarakan oleh Pemerintah, lembaga sosial maupun masyarakat dalam suasana kemitraan dan kerjasama yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Oleh karena itu diberbagai daerah tumbuh dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi yang dibidani berbagai elemen masyarakat, misalnya yayasan. Bahkan sekarang menjamur tumbuhnya sekolah-sekolah yang meng-adopsi pola belajar ala negara-negara barat (asing), pendidikan anak terlantar dan kaum miskin (pengemis) atau yang lebih beken dikenal dengan sebutan ‘gepeng’ (gelandangan dan pengemis) dan sebagainya.

Pendidikan khusus yang ada di Indonesia sebagian besar dimonopoli oleh Sekolah Anak Luar Biasa (SLB) bagian C. Sebenarnya SLB digolongkan menjadi 5 (lima) jenis pendidikan, yaitu: SLB bagian A diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan pada penglihatan atau tuna netra; SLB bagian B diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan pada pendengaran dan kadang-kadang bicara atau tuna rungu dan tuna wicara; SLB bagian C diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan mental atau tuna grahita; SLB bagian D diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan tubuh atau cacat tubuh atau tuna daksa; dan SLB bagian E diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kelainan tingkah laku atau hiperaktif. Terdapat pula golongan yang diidentifikasi sebagai ketunaan ganda atau anak yang memiliki kelainan ganda dan tuna laras yang biasanya masuk dalam kelompok SLB C dan atau D.

Permasalahan mendasar bagi anak-anak luar biasa, biasanya ditunjukkan dengan perilakunya ketika melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak normal pada umumnya. Contoh, ketika bergaul mereka menghadapi sejumlah kesulitan baik dalam kegiatan fisik, psikologis maupun sosial.

Dari beberapa kajian yang telah dilakukan terhadap isolasi sosial anak menunjukkan anak sering menjadi kaku, mudah marah dan bila dihubungkan dengan perilakunya menunjukkan seakan bukan pemaaf dan tidak mempunyai rasa sensitif terhadap orang lain. Hal lain menunjukkan bahwa anak-anak seperti itu mempunyai kesulitan mendasar dalam hal sosialisasi dan bahkan komunikasi.

Sifat-sifat seperti itu merupakan rintangan utama dalam melakukan kepuasan hubungan interpersonal bagi anak-anak luar biasa. Ketersendirian sebagai akibat rasa rendah diri merupakan tantangan dalam melakukan sosialisasi dan penerimaan diri akan kelainan yang dimilikinya.

PENGERTIAN TUNA DAKSA

Anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak selamanya memiliki keterbelakangan mental. Ada yang mempunyai kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal. Bahkan tidak jarang kelainan yang dialami seorang anak tuna daksa tidak mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada diantara anak tuna daksa hanya mrngalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal lainnya.

Secara umum perbedaan antara anak tuna daksa dengan anak normal terutama terdapat dalam tingkat kemampuannya. Namun hal ini juga sangat tergantung dari berat ringannya ketunaan yang mereka sandang.

Dengan adanya ketunaan dalam diri seseorang seringkali eksistensinya sebagai manusia ‘terganggu’. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak maka dibutuhkan keterampilam sesuai dengan kemampuan dirinya. Oleh karena itu orang-orang yang terlibat didalam pendidikan bagi ‘anak luar biasa’ harus mempunyai keterampilan dalam mengungkapkan dalam kebutuhan-kebutuhan personal psikologis yang dibutuhkan anak luar biasa. Layanan bimbingan dan konseling sangat diperlukan bagi anak luar biasa.

Tarmansyah mendefinisikan ”Tuna daksa adalah istilah lain dari tuna fisik; yang dimaksud disini adalah berbagai jenis gangguan fungsi fisik, yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Anak tuna daksa ini mudah diketahui karena ketunaannya tampak secara jelas”.

Sementara, Slamet Riadi Dkk, mendefinisikan ”Istilah lain dari tuna daksa adalah kelainan tubuh, cacat tubuh, cripple. Masing-masing ahli memilih istilah yang disukai dengan alasan sendiri-sendiri”.

Adapun beberapa macam kelompok tuna daksa, diidentifikasi oleh Djadja Rahardja sebagai berikut : a) Tuna daksa murni, golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, seperti poliomylitis serta cacat ortopedis lainnya, dan b) Tuna daksa kombinasi, golongan ini masih ada yang normal namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy.

Namun terdapat pula yang berpendapat bahwa tuna daksa dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : a) Tuna daksa taraf ringan, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna daksa murni dan tuna daksa kombinasi ringan. Tuna daksa jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh , anggota tubuh berkurang (buntung) dan cacat fisik lainnya; b) Tuna daksa taraf sedang, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cacat bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan. Kelompok ini banyak dialami dari tuna akibat cerebral palsy (tuna mental) yang disertai dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh dibawah normal; c) Tuna daksa taraf berat, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umumnya anak yang terkena kecacatan ini tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil dan idiot.

Slamet Riadi Dkk, membedakan tuna daksa menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: polio, cerebral palsy dan cacat tubuh yang lain. Uraian lebih lanjut dari ketunaan tersebut adalah:

Polio, yang lebih lengkap disebut polio meningitis. Pada umumnya bila penderita sudah parah sulit untuk disembuhkan, penyebab penyakit ini adalah baksil atau virus. Kebanyakan yang terserang penyakit polio ini adalah anak yang berusia 2-6 tahun. Oleh karena itulah disebut sebagai penyakit lumpuh anak-anak.Beberapa jenis penyakit polio ini adalah hemiplegia, tubercoluse tulang dan muscle dystophie.

Cerebral palsy, menurut artinya dari cerebral atau cerebrum yang artinya otak. Palsy artinya kekakuan. Jadi cerebral palsy berarti kekakuan yang disesabkan kelainan didalam otak. Oleh karena itu cerebral palsy merupakan cacat sejak lahir yang sifatnya gangguan-gangguan atau kerusakan-kerusakan dari fungsi otot dan urat saraf.

Cacat tubuh lain, dengan sendirinya semua kelainan fisik yang tidak termasuk dalam kategori polio dan cerebral palsy termasuk didalam ketunaan/ cacat tubuh lain.




MASALAH PSIKOLOGIS ANAK TUNA DAKSA

Kebutuhan merupakan sesuatu yang dapat mendorong munculnya aktifitas seseorang atau individu untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan juga merupakan prasyarat yang harus dipenuhi apabila ingin menciptakan sesuatu yang ideal atau yang dikehendaki. Manusia yang ideal adalah manusia yang dapat mengembangkan potensi diri dan sosialnya sesuai dengan kemampuan yang tersedia didalam dirinya. Kebutuhan manusia bukan hanya mencakup kebutuhan dasar dan pemenuhan kebutuhan fisik tetapi juga fisiologis. Kebutuhan fisiologis bagi anak luar biasa tentu saja sangat memerlukan bantuan orang lain didalam memenuhi kebutuhan hidup dan bathinnya, bahkan bantuan orang lain itu dapat saja berlangsung sepanjang hidupnya sebagai akibat dari beratnya keluarbiasaan yang disandang oleh anak tuna.

Ditinjau dari aspek psikologis anak tuna daksa cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Keluarbiasaan jenis apapun yang disandang anak tuna merupakan pengalaman personal. Ini berarti siapapun yang berada diluar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengerti, memahami dan mengalaminya. Anak atau siswa tuna daksa yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang dipikirkannya. Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya.

Dengan adanya keluarbiasaan dalam diri seseorang sering eksistensinya sebagai makhluk sosial dapat saja terganggu. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak itu maka efek psikologis yang ditimbulkannya juga tergantung dari seberapa berat ketunaan yang disandangnya itu, kapan saat terjadinya kecacatan, seberapa besar kualitas kecacatan dan karakteristik susunan kejiwaan anak atau siswa tersebut sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Menurut Tarmansyah jenis masalah psikologis, seperti: 1). Masalah psikologis taraf ringan anak tuna daksa pada umumnya terjadi oleh gangguan lateralisasi. Beberapa anak tuna daksa hanya kesulitan untuk menggunakan anggota tubuh saja, ini sebagai akibat oleh kerusakan yang terdapat pada hemisper dominannya. Dalam hal ini anak yang mengalami gangguan anggota tubuh secara psikologi berlangsung normal sebagaimana permasalahan anak normal; 2). Masalah psikologis taraf sedang anak tuna daksa disebabkan sebagai akibat kerusakan pusat syaraf, sehingga anak seringkali mengalami kesulitan untuk mengolah rangsangan visual, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam konsep bentuk, keseimbangan posisi, ruang warna, perasa, bunyi dan peraba. Gangguan motorik berakibat pula terhadap kondisi jiwa, termasuk didalamnya adalah emosi, misalnya rasa rendah diri, mudah tersinggung dan keras kepala, tetapi intelegensinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, 3). Masalah psikologis taraf berat anak tuna daksa pada umumnya sebagai akibat retardasi mental. Retardasi mental anak tuna daksa mencakup sebagian besar fungsi mental dan intelektual. Problema ini sebagai akibat dari kondisi ketidak mampuan anak yang disebabkan oleh imaturation, keterbatasan kemampuan untuk belajar dan berlatih, kesukaran untuk bergaul maupun bermain, kurang cepat dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kemampuan dinilai lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal diusianya.

Dengan demikian maka sikap anak atau siswa luar biasa, khususnya tuna daksa, akan tampak perbedaan sikap dari masing-masing anak ketika ia merespon sesuatu. Ada yang bersifat kekanak-kanakan atau infatil walaupun secara umur sudah bukan anak lagi. Jadi sikap anak luar biasa kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi fisik dan umurnya. Bahkan ada juga yang bersikap apatis atau acuh tak acuh terhadap kehadiran orang lain, sikap pasif dan atau sikap menentang perintah (negativistik). Dalam sikap itu tersimpul didalamnya suatu kecenderungan corak perasaan dan kemauan. Corak perasaan dan kemauan seseorang tampak pada tingkah laku seseorang, namun tingkah laku biasanya didahului dengan usaha persiapan, yaitu proses berpikir.

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Pengertian yang cukup mengenai fase-fase perkembangan manusia pada umumnya merupakan syarat utama apabila ingin membantu atau melayani seseorang anak atau siswa mengembangkan dirinya hingga memperoleh perkembangan yang harmonis dan optimal. Tiap fase perkembangan mempunyai sifat khas yang berlain-lainnan antar individu atau anak, oleh karena itu apabila memiliki pengertian dan pemahaman yang cukup tentang sifat khas dari fase-fase pekembangan tertentu maka akan dapat mengambil sikap yang tepat guna ikut mendorong individu berkembang dengan sebaik-baiknya.

Bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang dan atau sekelompok orang yang bertujuan agar masing-masing individu mampu mengembangkan dirinya secara optimal, sehingga dapat mandiri dan atau mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Jadi yang ingin dicapai dengan bimbingan ialah tingkat perkembangan yang optimal bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut merupakan tujuan utama pelayanan bimbingan di sekolah, dan tujuan tersebut terutama tertuju bagi murid-murid sebagai individu yang diberi bantuan. Akan tetapi sebenarnya tujuan bimbingan di sekolah tidak terbatas bagi murid saja, melainkan juga bagi sekolah secara keseluruhan dan bagi masyarakat.

Dengan demikian hakekat tujuan bimbingan dan konseling yaitu suatu upaya bantuan kepada individu agar dapat menerima dan menemukakan dirinya sendiri secara efektif dan produktif, sehingga dapat mengerahkan kemampuan dirinya dengan tepat, mengambil keputusan dengan benar dan dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Oleh karena itu sudah saatnya dalam rangka menyongsong berlakunya Undang Undang Nomor : 14 Tahun 2006, tentang Guru dan Dosen maka Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kongkrit dengan mengangkat atau menetapkan profesi dan sertifikasi guru layanan bimbingan dan konseling pada sekolah-sekolah luar biasa, sehingga perhatian terhadap anak luar biasa menjadi tidak terabaikan dan sekaligus menepis issue diskriminasi terhadap anak didik.

Sebagai catatan, tampaknya telah banyak sarjana pendidikan jurusan bimbingan dan konseling atau bimbingan dan penyuluhan yang tidak bekerja sesuai dengan profesinya atau bahkan belum memiliki kesempatan mengembangkan ilmunya di dunia pendidikan , karena sebab-sebab tertentu atau bahkan banyak guru-guru (PNS) yang telah melanjutkan jenjang pendidikannya ke jurusan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, ketika tanggal 20 Mei 2006, Universitas Indraprasta PGRI ( yang dahulu STKIP PGRI) mewisuda sarjananya, terdapat 119 wisudawan/wati dari Fakultas Pendidikan, Jurusan Bimbingan & Konseling, dan dari sekian banyak wisudawan/wati terdapat para guru (PNS) yang meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya dibidang tersebut. (Penulis adalah Guru SLB-D YPAC Jakarta sejak tahun 1981, ibu tiga putri Alifah (S1), Ennisa (Mahasiswa), Enovera (SMA) buah hati dengan suami tercinta Drs.Supriyanto Budisusilo/ Wisudawati UNINDRA PGRI 2006/H.Nur)

http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=3840

Sabtu, April 18, 2009

Peranan Guru dan Orang Tua dalam Pemberdayaan Anak Luar Biasa

Erfan Agus Munif

Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan setiap anak manusia di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sebagai bagian dari anak manusia, anak luar biasa (anak cacat) juga mempunyai hak yang sama dalam menempuh bidang pendidikan. Untuk dapat berdaya guru dan orang tua memegang peranan yang sangat penting. Sikap positif orang tua akan sangat membantu memberdayakan anak luar biasa

Kata kunci: analk luar biasa, pemberdayaan

PENDIDIKAN nasional, pada dasarnya diperuntukkan bagi segenap rakyat negeri ini tanpa terkecuali. Itulah maka, kehadiran sekolah-sekolah khusus (bagi yang cacat maupun yang berbakat), serta sekolah kejuruan, disamping sekolah umum yang cukup banyak jumlahnya, tetap akan masih sangat dibutuhkan. Terutama lembaga-lembaga pendidikan formal bagi anak yang tuna --tuna netra, tuna rungu wicara, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna laras-- juga tentu membutuhkan perhatian besar kita, bagi mekarnya potensi yang tersimpan dalam dirinya. Mereka tetap merupakan alternatif sumber daya manusia, yang dalam serba keterbatasannya diharapkan mampu menyumbang darma-bakti bagi kejayaan negeri. (Mulyadi,2001)
Penyandang cacat menurut Undang-undangn No 4 tahun 1997 didefinisikan sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisisk dan/mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya” Yang termasuk penyandang cacat dalam hal ini adalah penyandang cacat fisik, penyandnag cacat mental, serat penyandang cacat fisik dan mental.
TANGGAL 3 Desember ditetapkan PBB sebagai Hari Internasional penyandang Cacat, yang diawali dengan peristiwa Majelis Umum PBB menerima Resolusi No. 37/52 tentang Program Aksi Dunia bagi peningkatan Kualitas Hidup Penyandang Cacat tanggal 3 Desember 1982.
Resolusi tersebut menekankan pentingnya persamaan hak dan kesempatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup mereka, termasuk di bidang pendidikan.
Sebagaimana warga masyarakat umumnya, para penyandang cacat juga memerlukan pendidikan. Pendidikan dibutuhkan oleh setiap orang untuk memperbaiki status dan kualitas kehidupan mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang warga masyarakatnya terdidik. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi penyandang cacat sangat terbatas dibandingkan orang yang tidak cacat. Menurut UNESCO, dari 93 juta anak penyandang cacat berusia di bawah 15 tahun (usia wajib belajar) di kawasan Asia dan Pasifik, hanya 5 persen yang bersekolah.
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Ketentuan itu kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Peserta didik yang mendapat Pendidikan Luar Biasa menurut PP itu adalah yang mengalami kelainan fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa), kelainan mental (tunagrahita ringan dan sedang), kelainan perilaku (tunalaras) dan kelainan ganda.
Untuk melaksanakan sistem Pendidikan Luar Biasa, dibentuk SLB-A, untuk tunanetra, SLB-B, untuk tunarungu, SLB-C, untuk cacat mental, SLB-D, untuk tunadaksa, SLB-E, untuk tunalaras dan SLB-G, untuk tunamenda.
SEKOLAH khusus bagi penyandang cacat dibuat atas pertimbangan bahwa penyandang cacat memerlukan fasilitas khusus dan guru yang terlatih, karena cacat yang mereka alami merupakan hambatan untuk mendapatkan pendidikan secara normal. Bahwasanya penyandang cacat mengalami hambatan untuk mengikuti sistem pendidikan 'normal' dan memerlukan fasilitas khusus serta guru yang terlatih dengan metode pengajaran tertentu, adalah tidak mungkin diingkari. Tetapi kekhususan tersebut tidak harus dengan cara mengelompokkan mereka dalam institusi khusus yang memisahkannya dengan murid yang tidak cacat.
Kritikan terhadap keberadaan sekolah khusus penyandang cacat sudah banyak dilontarkan, terutama dari kalangan penyandang cacat itu sendiri. Penempatan ke dalam apa yang disebut "Sekolah Khusus Penyandang Cacat", menjadikan penyandang cacat dipandang sebagai sesuatu yang 'lain' oleh masyarakat: Padahal sesungguhnya mereka adalah juga warga negara biasa sebagaimana masyarakat lainnya. Keberatan itu cukup beralasan, sebab sekolah merupakan salah satu agen sosialisasi dalam kehidupan seseorang. Di sekolah, murid tidak hanya mendapatkan transformasi ilmu pengetahuan dan
keterampilan saja, tetapi juga nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Melalui Interaksi Sosial di sekolah, seorang anak dapat memahami adanya perbedaan di antara mereka, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang pintar, ada yang malas. Mereka juga melihat adanya kesamaan di dalam suasana yang berbeda-beda itu, yaitu mereka sama-sama murid yang sedang menimba ilmu pengetahuan.
Di dalam perbedaan dan persamaan itu, mereka juga memahami adanya persahabatan dan persaingan, suatu gambaran dari masyarakat yang sesungguhnya. Pemahaman ini akan terekam dalam perilaku mereka dan ini sangat penting jika tiba saatnya mereka terjun ke masyarakat kelak.
Umumnya seseorang yang mengalami kelainan fisik atau mental cenderung untuk kurang percaya diri (minder). Pengelompokan mereka secara khusus dianggap lebih memberikan rasa aman. Untuk sesaat, rasa aman yang diberikan mungkin terpenuhi, namun terbatas di lingkungan tersebut. Pada sisi lain, masyarakat menuntut penyandang cacat untuk hidup secara 'normal'. Sekolah khusus penyandang cacat seperti yang kita kenal selama ini harus diakui tidak membantu proses integrasi sosioal penyandang cacat, karena anak penyandang
cacat tidak disiapkan untuk menghadapi masyarakat yang sesungguhnya. Kecuali itu, anak yang tidak cacat (yang suatu saat terjun ke masyarakat), tidak akan memahami kebutuhan khusus dan problema penyandang cacat secara benar, disebabkan mereka tidak terbiasa untuk bermain, belajar dan hidup dengan penyandang cacat.
Dipersoalkan pula bahwa sekolah khusus penyandang cacat tidak jarang menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam upaya peningkatan status dan penghidupan. Kebanyakan sekolah khusus penyandang cacat menyelenggarakan pendidikan baru sampai tingkat dasar, hanya beberapa pada tingkat menengah. Permasalahan timbul jika lulusan sekolah khusus penyandang cacat bermaksud meneruskan pendidikan tinggi, karena tidak ada sekolah tinggi penyandang cacat.
Sekolah tinggi yang ada umumnya tidak memperhitungkan keberadaan para lulusan sekolah tersebut. Paling tidak hal ini terlihat dari persyaratan pendaftaran yang menyebutkan antara lain "Berijazah sekolah umum". Dianggap suatu hal yang 'aneh' jika mereka mendaftar ke sekolah tinggi. Barulah, dengan kebijaksanaan yang sifatnya intern seorang penyandang cacat dapat masuk ke sekolah tinggi.
Fakta menunjukkan, penyandang cacat yang hadir di sekolah umum mampu mencapai prestasi yang tidak berbeda dengan siswa lain. Tidak jarang prestasi mereka melebihi siswa yang tidak cacat. Kisah sukses penyandang cacat yang mendapat pengakuan di masyarakat, selalu diwarnai dengan latar belakang pendidikan bukan khusus penyandang cacat.
Pendidikan terpadu adalah sistem pendidikan yang lebih memberi keuntungan bagi peningkatan kualitas hidup penyandang cacat, dalam arti bukan hanya mengalihkan penempatan siswa cacat ke sekolah umum, melainkan juga menciptakan suasana iklim pengajaran yang memungkinkan penyandang cacat dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal. Misalnya, menciptakan kurikulum pendidikan guru yang fleksibel, yaitu membeli calon guru sekolah umum dengan kemampuan mengajar murid yang berkelainan. Di samping itu, menciptakan lingkungan sekolah yang memudahkan ruang gerak bagi penyandang cacat.
Dalam masyarakat kehadiran penderita cacat harus dianggap sebagai anggota mayarakat lainnya yang tidak cacat. Elander (dalam Jansen, 1998) mengutarakan 10 peraturan dasar untuk hidup berintegrasi dalam masyarakat, yaitu (1) kehidupan keluarga, penyandang cacat harus mempunyai kebebasan untuk mencari pasangan, mempunyai anak, dan membentuk keluarga sendiri, (2) tempat berlindung, (3) makanan, (4) sekolah, (5) pendidikan dan pelatihan, (6) waktu senggang, (7) pelayanan masyarakat, (8) perhimpunan, (9) peluang-peluang ekonomi, dan (10) partisipasi politik. Dari sepuluh peraturan tersebut dapat diklasifikasikan lima hal yang memegang peranan penting dalam memberdayakan anak penyandang cacat, yaitu (1) integrasi dalam tempat tinggal, (2) berintegrasi dalam sekolah, (3) berintegrasi dalam pekerjaan, (4) berintegrasi dalam kontak sosial, dan (5) berintegrasi dalam hak asasi (jansen. 1998:4).
Banyak orang yang tidak mempunyai pengalaman tentang anak-anak luar biasa akan mempunyai pandangan yang stereotipe bahwa anak luar biasa adalah anak yang harus diperlukan berbeda dengan anak-anak yang tidak mengalami permasalahan. Kondisi seperti menurut Hidayat (1998:2) dapat memberikan gambaran yang suram dan dapat menghambat pemenuhan kebutuhan anak luar biasa ini.

Peranan Orang tua dan Guru
Dalam memandang pendidikan bagi anak penderita cacat, Warlock (dalam Hidayat, 1998:3) membuat beberapa rekomendasi tentang pendidikan anak luar biasa, yaitu bahwa mereka dididik bukan hanya berdasarkan pada kelainan khusus mereka. Melainkan juga karena adanya kebutuhan terhadap pendidikan khusus. Di samping itu mengintegrasikan anak-anak dengan kebutuhan khusus ke dalam sekolah umum dimanapun adalah memungkinkan dan dapat dilakukan. disini keterlibatan orang tua sangat diperlukan. Orang tua mempunyai suatu hak untuk meminta dan melibatkan diri dalam assasenment anak-anaknya dan memutuskan tentang penempatan sekolahnya.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak-anaknya yang mempunyai kelainan tersebut. Kekhususan yang dimiliklnya tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi orang tua sehingga ada kesatuan cara pandang antara orang tua di rumah maupun dengan guru di sekolah.

Bagi anak tuna daksa
Pada umumnya anak tuna daksa tidak hanya mengalami kelainan fisik namun juga mengalami ketidakmampuan lainnya yang sifatnya lebih individual. Menurut Hidayat (1988:8) walaupun dalam kondisi tuna daksa yang berat tapi anak-anak tunadaksa dapat mengembangkan kemampuan kognisinya, serta mampu memahami benda-benda dan orang yang ada di sekitarnya, namun untuk dapat berkembang seperti itu anak tunadaksa harus selalu diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya.
Permsalahan yang banyak dialami selama ini adalah adanya ketidaksadaran orang tua bahwa anaknya dapat berkembang. Selama ini yang menjadi kendala berkembangnya anak tuna daksa adalah keengganan orang tua untuk memberi kesempatan kepada anaknya untuk berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Kebanyakan orang tua sangat khawatir kalau anaknya berinteraksi dengan orang lain, disamping perasaan malu juga ketakutan bahwa anaknya nanti malah maik parah.
Untuk itu maka orang tua harus disadarkan bahwa dengan semakin mengekang anaknya maka perkembangan anaknya akan semakin menurun. Disamping itu harus disadari oleh orang tua bahwa interaksi dengan manusia lain dan lingkungan sekitar itu adalah obat yang paling mujarab bagi anaknya.

dikutip dari : www.jugaguru.com/document.php/document/article/347/24/

Kamis, April 16, 2009

Guru SLB PKK Prov. Lampung Punya Ilmu Baru

Tanggal 13 April sampai 18 April guru-guru SLB PKK Provinsi Lampung mendapatkan ilmu baru yang bisa meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.
Pembelajaran kali ini adalah pembelajaran elektronik yang lebih dikenal dengan istilah E-Learning. Simtem pelajaran ini merupakan ilmu baru bagi kami guru-guru SLB PKK Provinsi Lampung. Pertama terasa aneh skaligus sulit untuk memahaminya, tetapi berkat kesabaran instruktur dalam memberikan materi membuat kami mudah untuk memahaminya.

E-Learning merupakan terobosan baru dalam sistem pembelajaran di sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama di sekolah kami. Program ini sangat cocok diterapkan pada anak tunarungu wicara karena bisa menggunakan media audio visual yang merupakan media paling sesuai untuk mereka. Selain itu E-Learning juga bisa memacu kreatifitas guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. E- Learning juga membuka mata guru bahwa media pembelajaran tidak hanya berupa papan tulis, kertas dan lain sebagainya.

Dengan E-Learning ini mudah-mudahan bisa memudahkan guru dalam menyajikan materi dalam proses belajar mengajar di kelas, dan yang tak kalah penting adalah mampu meningkatkan pemahaman siswa dalam menerima materi pembelajaran.

Saya sebagai peserta sangat berterima kasih kepada instruktur dengan sabar telah mengajari kami yang sebagian besar sudah berumur lanjut dan sudah mengalami PDI (Penurunan Daya Ingat). Mereka dengan senang hati menjawab pertanyaan kami yang bagi mereka dianggap terlalu mudah untuk dipahami. Tapi kami selalu bertanya dan bertanya terus kepada instruktur.

Kami berharap para instruktur akan datang lagi "menjambangi" kami dengan ilmu yang lain. Kami tunggu Pak ..................

Salam,
www.slbpkk-lampung.net

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Minggu, 28 Januari 2007

Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.



Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah a

Minggu, April 12, 2009

Edutainment : Datangkan Tenaga Pengajar dari Jawa

Sesuai dengan namanya Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), sekolah ini menerima murid-murid yang tidak biasa dengan sekolah umum. Semua siswa-siswi di sekolah ini memiliki kekurangan dan biasa disebut keterbelakangan mental.



Di SDLB Rimbobujang terdapat empat kelompok anak yang ditampung. Metera terdiri dari, anak tuna netra atau tidak bisa melihat, tuna rungu atau tidak bisa mendengar, tuna grahita atau anak yang memiliki kemampuan atau IQ di bawah rata-rata, dan tuna daksa atau anak-anak yang memiliki cacat bawaan dan memiliki kemampuan motorik yang kurang. “ Semua anak-anak ini juga berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak normal. Itulah tujuan didirikan SDLB di Rimbobujang, Kabupaten Tebo. Dengan adanya sekolah ini diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak itu,” terang Susilo, Kepsek SDLB. Menurut dia, di sekolah ini proses belajar mengajar dilakukan menggunakan metode yang dapat diikuti oleh siswa-siswi. Metode yang digunakan berbeda dengan sekolah umum, seperti pengejaran individual. Ini dilakukan karena setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda.

Ada juga penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi satu tema pokok bahasan. Contohnya pelajaran berhitung dengan bernyanyi, bisa dijadikan dalam satu tema. “Metode yang lain seperti pembelajaran artikulasi, maksudnya artikulasi atau bicara, pelatihan pengucapan, kata huruf dan cara pengucapannya,” terang Eko Yuliyanto, SPd salah satu guru SDLB. Murid sekolah ini juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu mampu didik dan mampu latih. Murid mampu didik akan diajarkan kurikulum selayaknya SD pada umumnya.

Sedangkan bagi anak yang dianggap mampu latih akan diberikan kemampuan atau keterampilan khusus. Ini untuk mempersiapkan mereka agar mampu terjun ke masyarakat. Hal yang membedakan SDLB dengan SD umum yaitu dari gurunya. Guru untuk SD ini semuanya merupakan lulusan sarjana pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Kebetulan saat dibuka, empat tenaga guru sekolah ini didrop dari Jawa. Di antaranya Nasrotun Murlina, SPd, Andi Setyowati, SPd, Eko Yuliyanto, SPd, dan Hery Prasetyo, SPd.(ags/rb)

http://www.jambi-independent.co.id/home/modules.php?name=News&file=article&sid=7731