Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, Mei 26, 2009

harus ganti suasana



mungkin terlalu lama bergelut disini
kebosanan mulai tak lelah menghampiriku..
..sepertinya aku perlu mengupgrade semangat ini
agar tak lekas pergi sia - siakan semuanya..

kenapa belakngan aq seperti dlanda keterpurukan..
semua senyum itu terunggut kemarahan..
ada yang berbeda dari suasana ini
mengapa jadi tidak nyaman disini,,,
ingin pergi saja..

malas aku melihat itu ..
hanya akan membuat semua jadi tambah berantakan..
cukup hti ini saja yang kacau jangan sampai susana itu juga jadi kacau...

sepertinya q benar - benar harus rehat,,,
menghilang - menjauh,,,tapi takkan pergi,,,
harus ganti sauasana

agar ketika kembali aq sudah refresh dan kembali siap berjuang
mafkan aku yang lemah ini
_rCh_

Si Cengeng..



aku tau harusnya penuh syukur,,,
tapi terkadang lelah tuk bertahan tetap tegar,,,
bolehkah ku sejenak melepas semua burden nich dari pundak ku???
aq juga manusia yang bisa lelah,,butuh waktu tuk merefresh hati,,,

maf sahabat - sahabat q,,,
ternyata aq tak bisa setegar yang ku harapkan,,,
maf ternyata harus membuatmu jauh lebih repot...
sebenarny itu bukan inginku

tapi si lemah ini memang cengeng...
air matanya terlalu banyak,,,
hatinya terlalu rapuh...
dirinya terlalu manja,,
bahkan untuk menata hatinya z dia tidak bisa,,,,

dasar cengeng,,,liat air matanya mulai mengalir lagi,,
kelak pasti dia akan malu melihatnya,,,
sudahlah biarkan saja si cengeng nih menangis dulu
mungkin semakin banyak ia menangis akan mengurangi sakitnya,,,

sepertinya dia hanya kesepiaan saja dan tidak tau mau bersandar kemana???
dasar kekanank - kanankan yah???

BIMBINGAN PROFESIONAL GURU DAN MOTIVASI MENGAJAR GURU TERHADAP MANAJEMEN PEMBELARAN



Pendahuluan
Abad 21 merupakan abad global. Masa ini ditandai dengan kehidupan bermasyarakat yang berubah cepat karena dunia semakin menyatu. Apalagi ditopang kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga batas-batas masyarakat dan negara menjadi kabur. Demikian pula pada sekotor ekonomi, dunia berkembang dengan pesat yang ditandai kemajuan ilmu pengetahuan.
Ekonomi yang berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan lokomotif dari perubahan dunia abd 21. Selanjutnya sektor ekonomi yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based economy) menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dari para pelaku ekonomi profesional. Di dalam masyarakat sederhana, berbagai pekerjaan dilakukan secara rutin. Masyarakat konsumen menuntut kualitas produksi yang tinggi dan terus menerus diperbaiki.
Oleh sebab itu profesionalisme merupakan syarat mutlak dalam kehidupan global. Apalagi pada dunia global lebih diutamakan pada penguasaan kemampuan dan keterampilan serta penuh persaingan. Globalisasi mengubah hakikat kerja dari amatirisme menuju kepada profesionalisme.
Memang inilah dasar dari suatu masyarakat berdasarkan merit system. Legitimasi dari suatu pekerjaan atau jabatan di dalam masyarakat abad 21 tidak lagi didasarkan kepada amatirisme atau keterampilan yang diturunkan atau dengan dasar-dasar yang lain, tetapi berdasarkan kepada kemampuan seseorang yang diperoleh secara sadar dan terarah dalam menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Tuntutan profesionalisme akibat dari perubahan global sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat, profesi guru juga menuntut profesionalisme. Guru yang profesional bukan hanya sekedar alat untuk transmisi kebudayaan, tetapi mentransfomasikan kebudayaan itu ke arah budaya yang dinamis yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, produktivitas yang tinggi, dan kualitas karya yang dapat bersaing.

Bimbingan Profesional Guru
Wacana tentang profesionalisme guru kini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Menurut Oktovianus Sahulata dalam makalahnya dikatakan: mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang mengakibatkan anak didik tidak inovatif, kreatif bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Ketiga, Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39. Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. (www.hotlinkfiles.com)
Guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok. Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Menurut H. Isjoni (2006:20) guru profesional bukan lagi merupakan sosok yang berfungsi sebagau robot, tetapi merupakan dinamisator yang mengantar potensi-potensi peserta didik ke arah kreativitas. Tugas seorang guru profesional meliputi tiga bidang utama:

(1) dalam bidang profesi;
(2) dalam bidang kemanusiaan;
(3) dalam bidang kemasyarakatan.
Dalam bidang profesi, seorang guru profesional berfungsi untuk mengjar, mendidik, melatih, dan melaksanakan penelitian masalah-masalah pendidikan.
Dalam bidang kemanusiaan, guru profesional berfungsi sebagai pengganti orang tuanya dalam peningkatan kemampuan intelektual anak didik. Guru profesional menjadi fasilitator untuk membantu peserta didik mentransformasikan potensi yang dimiliki peserta didik menjadi berkemampuan serta berketeramplilan yang berkembang dan bermanfaat bagi kemanusiaan.
Dalam bidang kemasyarakatan profesi guru berfungsi untuk memenuhi amanat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan differensiasi tugas dari suatu masyarakat modern, sudah tentu tugas pokok dari guru ialah profesional dalam bidangnya tanpa melupakan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan lainnya.
Selanjutnya Isjoni (2006:21) mengatakan: “dalam rangka untuk melaksanakan tugas-tugasnya, guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi. Kompetensi-kompetensi guru profesional antara lain meliputi kemampuan untuk mengembangkan pribadi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual, serta membawa peserta didik menjadi anggota masyarakat Indonesia yang bersatu, dinamis, serta berdasarkan Pancasila.
Berkaitan dengan pembinaan profesional guru ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan:
1. Sistem Pembinaan Profesional (SPP)
Berpijak pada adanya kesadaran dan keinginan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia maka peranan pendidikan khususnya di Sekolah Dasar perlu diperkuat dan didukung dengan tersedianya tenaga kependidikan yang berkualitas pula, yaitu :
a) Pengawas yang berkemampuan profesional dalam melakukan pembinaan serta pengawasan sekolah.
b) Kepala sekolah yang berkemampuan professional dalam melakukan manajemen sekolah.
c) Guru yang berkemampuan professional dalam melaksanakan tugas belajar mengajar.
Sistem Pembinaan Profesional (SPP) adalah usaha yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas profesi serta mutu kerja praktisi pendidikan.
Tujuan SPP adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya tenaga kependidikan yang tersedia, sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan itu sendiri, dan pada giliranya kualitas proses belajar dan out put SD semakin bermutu.

Sumber:
http://intanghina.wordpress.com/2009/01/13/bimbingan-profesional-guru-dan-motivasi-mengajar-guru-terhadap-manajemen-pembelajaran/

EVALUASI PEMBELAJARAN YANG MEMBERDAYAKAN


Kamis, 2009 April 23

Makalah ditulis untuk memenuhi tugas Akhir Semester
Mata Kuliah Landasan Pembelajaran
Dosen : Prof. Dr. Muhari

Oleh : Muh. Anang Prasetyo S.Pd
Prodi : Manajemen Pendidikan
NIM : 07755060

Abstrak
Evaluasi pembelajaran, dalam kesatuan sistemik pembelajaran mutlak dibutuhkan. Ia lebih berfungsi sebagai tolok ukur terhadap keberhasilan, ketercapaian suatu pembelajaran. Ketiadaan evaluasi ini, dapat mengakibatkan ketimpangan dalam proses belajar mengajar.
Evaluasi pembelajaran dirasakan kurang manusiawi. Mengingat aspek penilaian lebih dititik beratkan pada ranah IQ (kognitif) semata. Padahal penelitian menunjukkan IQ hanya menyumbang 20 % dalam kesuksesan seseorang dalam kehidupan. terlebih metode evaluasi ini lebih bermakna menggagalkan daripada memberdayakan dan memanusiakan. Juga, kecerdasan seseorang tidak hanya tunggal tetapi meluas (kecerdasan jamak)
Perlu upaya yang serius dan mendalam dari semua pihak, agar evaluasi pembelajaran tidak sekedar angka atau evaluasi dari satu kecerdasan, tetapi mampu menjangkau ragam kecerdasan (multiple intelligence) . Disisi yang lain, evaluasi pembelajaran yang memberdayakan peserta didik, adalah evaluasi yang valid dan otentik. Inilah hakekat evaluasi pembelajaran yang memberdayakan tersebut.

A. Pendahuluan
Belajar pada hakekatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada individu yang belajar. Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena usaha individu yang bersangkutan (Majid, 2006 :224). Sedangkan mengajar menurut Joyce, Weil dan Shirs (dalam Majid, 2006 : 225), pada hakekatnya adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, cara-cara belajar bagaimana belajar. Untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal, seorang guru harus memahami azas utama quantum teaching. Yaitu, bawalah dunia mereka ke dalam dunia kita, dan antarkan dunia kita kedalam dunia mereka. Proses apersepsi inilah yang tak jarang sering ditinggalkan oleh guru. Padahal, ia merupakan landasan kokoh untuk menyampaikan pengajaran.
Ada tiga tujuan belajar, pertama : mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik, kedua: mengembangkan kemampuan konseptual umum, sehingga mampu belajar menerapkan konsep yang sama atau berkaitan dengan bidang-bidang lain yang berbeda, serta ketiga : mengembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan (Dryden & Vos, :103)
Melihat rumusan demikian, maka dibutuhkan pula suatu piranti khusus, untuk mampu mengetahui hakekat belajar tersebut sudah tercapai atau belum. Piranti tersebut tidak lain adalah evaluasi pembelajaran. Makalah ini mencoba menyelami dan mengkaji sekaligus sedikit mengkritisi evaluasi pembelajaran yang berjalan selama ini. Mulai dari tujuan evaluasi, fungsi evaluasi, jenis-jenis evaluasi serta teknik-teknik evaluasi. Hal ini penting diketahui, mengingat kegagalan mengevaluasi, sama halnya dengan kegagalan suatu pembelajaran itu pula.
Dalam pengantar buku Contextual Teaching & Learning, Prof. Dr. A. Chaidar Alwasilah,mengatakan ada tiga prinsip pembelajaran yang harus diperhatikan. Pertama, belajar mengahsilkan perubahan perilaku anak didik yang relative permanent. Artinya peran penggiat pendidikan-khususnya guru dan dosen-adalah sebagai pelaku perubahan (agent of change). Kedua, anak didik memiliki potensi , gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Maknanya , pendidikan seyogyanya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar mengajar, dengan demkian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal, apabila tidak dikatakan sempurna, dan relative permanent. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti tersebut diatas.
Kualitas ideal dalam pembelajaran lebih lanjut, tentu saja diupayakan sebuah evaluasi pembelajaran yang ideal pula. Ketika proses belajar mengajar sudah demikian ideal, tanpa diimbangi idealitas evaluasi pembelajaran, tentu saja kurang berimbang.

B. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi merupakan pengukuran ketercapaian program pendidikan (Majid, 2006 : 185). Juga suatu pembuatan pertimbangan menurut suatu perangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan (Fatah, 2006 : 107). Menurut TR Morison (dalam Fatah, 2006) terdapat tiga faktor penting dalam konsep evaluasi, yaitu : pertimbangan (judgement) deskripsi obyek penilaian, dan kriteria yang bertanggung jawab (defensible criteria). Aspek keputusan itu yang membedakan evaluasi sebagai suatu kegiatan dan konsep dari kegiatan dan konsep lainnya, seperti pengukuran (measurement).
Menurut Winkel (dalam Riyanto, 2005 : 3) belajar adalah suatu aktivitas mental / psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan, dan nilai sikap. Sedangkan Cronbach (dalam Riyanto , 2005 : 3 ), menyatakan bahwa belajar itu merupakan perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman. Menurutnya, belajar sebaik-baiknya adalah dengan mengalamaisesuatu yaitu mempergunakan panca indera. Dengan kata lain bahwa belajar adalah suatu cara mengamati, membaca, meniru, mengintimasi, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu.
Secara singkat, evaluasi pembelajaran yang dimaksud dalam makalah ini adalah pengukuran ketercapaian suatu pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap didalam suatu materi pengajaran.
Mengenai cara mengevaluasi atau suatu pengujian , harus melihat kembali sejarah sekolah. Dimana akhirnya membentuk sistem pendidikan seperti sekarang. Yakni berawal dari Amerika pada 1837 saat Horace Mann mengadopsi sistem pendidikan Prusia. Menurutnya menguji yang benar adalah dengan membuat tes tertulis, yang terdiri dari banyak soal.semakin banyak soal yang berhasil dijawab dengan benar, semakin baik pula hasil pembelajaran (Gunawan, 2006:291)
Padahal, sistem sekolah Prusia, sebenarnya, digunakan untuk mendidik tentara. Karena sistem ini berdasarkan disiplin militer, tentu saja cara pendekatannya sangat berbeda dengan cara mendidik anak di lingkungan rumah. Dan karena tujuannya adalah untuk menghasilkan tentara, maka system ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk menggagalkan paling tidak 70 % dari siswa yang mengikuti pendidikan di sekolah ini. Logikanya, bila ada seribu orang yang mengikuti pendidikan ini. Pada saat tamat sekolah tentu tidak mungkin seribu orang menjadi jenderal semua. Oleh karena itu, sistem sekolah ini dirancang untuk memberikan tes atau ujian. Mereka yang tidak berhasil dalam mengerjakan tes tentu saja akan sulit untuk naik ke level yang lebih tinggi. Jadi, system ini memang dari awal sudah dirancang untuk menyaring atau menggagalkan muridnya ( Gunawan, 2005 : 227)
Melihat fenomena demikian, tentu seorang guru sebagai pengajar sekaligus pendidik harus mampu mencari format evaluasi yang mampu memberdayakan (bukan memperdayakan) ranah potensi peserta didik. Termasuk pendekatan yang digunakan untuk menguji murid seyogyanya justru mengangkat derajat pemahaman murid , penguasaan akan materi pelajaran dan kemampuan berpikir ke tingkat yang lebih tinggi. Yakni kembali kepada tujuan semula dalam belajar.

C. Tujuan , Fungsi dan Jenis – jenis Evaluasi
Tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi, tujuan umum dan tujuan khusus. L. Pasaribu dan Simanjuntak (dalam Ahmadi, 1991 : 189) menegaskan bahwa :
C.1. Tujuan evaluasi :
1. Tujuan umum dari evaluasi adalah
a. mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang dihharapkan.
b. Memungkinkan pendidik / guru meniali aktivitas / pengalaman yang didapat
c. Menilai metode mengajar yang dipergunakan
2. Tujuan khusus dari evaluasi adalah :
a. merangsang kegiatan siswa
b. menemukan sebab-sebab kemajuan atau kegagalan
c. memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan
d. memperoleh bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orangtua dan lembaga pendidikan
e. memperbaiki mutu pelajaran atau cara belajar dan metode belajar

C 2. Fungsi evaluasi
Adapun fungsi evaluasi dalam kegiatan belajar mengajar, menurut Ahmadi (1991:189) yaitu :
1. untuk memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar, serta mengadakan perbaikan program bagi murid
2. untuk memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar murid kepada ortu, penentuan kenaikan kelas serta penentuan lulus tidaknya seorang murid
3. untuk menentukan murid di dalam situasi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yangh dimiliki murid.
4. untuk mengenal latar belakang (psikologi, fisik, lingkungan) murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar , nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan belajar yang timbul.

C.3. Jenis-jenis Evaluasi
Jenis-jenis evaluasi dapat dibagi menjadi 4 jenis. Yaitu evaluasi formatif, sumatif. Placement dan diagnostik. Keempat jenis evaluasi tersebut secara singkat akan divas dari segi fungís, tujuan, aspek yang dinilai, dan waktu pelaksanaannya.
1. evaluasi formatif
- fungsi : untuk memperbaiki proses relajar mengajar (selanjutnya disingkat PBM) kearah yang lebih baik, atau memperbaiki program satuan pelajaran yang telah digunakan
- tujuan : untuk mengetahui hinggá dimana penguasaan murid tentang bahan yang telah diajarkan dalam statu program satuan pelajaran
- aspek yang dinilai : yang berkenaan dengan hasil kemajuan belajar murid, meliputi : pengetahuan, ketrampilan, sikap dan penguasaan terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan.
- Waktu : setiap akhir pelaksanaan satuan program belajar mengajar.
2. evaluasi sumatif
- fungsi : untuk menentukan angka / nilai murid setelah mengikuti program pengajaran dalam satu catur wulan, semester, akhir tahun atau akhir dari suatu program bahan pengajaran dari statu unit pendidikan. Juga untuk memperbaiki situasi PBM kearah yang lebih baik serta untuk kepentingan penilaian selanjutnya.
- Tujuan : untuk mengetahui taraf hasil relajar yang dicapai oleh murid estela menyelesaikan program bahan pengajaran dalam satu cawu, semestre, akhir tahun atau akhir statu program bahan pengajaran pada suatu unit pendidikan tertentu.
- Aspek yang dinilai : yaitu kemajuan Belajar, meliputi pengetahuan , ketrampilan, sikap dan penguasaan murid tentang materi pelajaran yang sudah diberikan.
- Waktu : akhir cawu, semester, akhir tahun.

3. evaluasi placement
- fungsi : untuk mengetahui keadaan anak termasuk keadaan seluruh pribadinya, agar anak tersebut dapat ditempatkan pada posisinya yang tepat
- tujuan : untuk menempatkan anak didik pada kedudukan yang sebenarnya, berdasar Bakau, minat, kemampuan, kesanggupan, serta keadaan lanilla. Sehingga anak tidak mengalami hambatan dalam mengikuti setiap program atau bahan yang disajikan guru.
- Aspek yang dinilai : meliputi keadaan fisik, psikis, Bakau, kemampuan atau pengetahuan, ketrampilan, sikap dan lain-lain aspek yang dianggap perlu bagi kepentingan pendidikan anak selanjutnya.
- Waktu : sebaiknya dilaksanakan sebelum anak mengikuti PBM yang permulaan.

4. evaluasi diagnostik
- fungsi : untuk mengetahui masalah-masalah apa yang diderita atau mengganggu anak didik, sehingga ia mengalami kesulitan, hambatan atau gangguan ketika mengikuti program tertentu. Dan bagaimana usa untuk memecahkannya.
- Tujuan : untuk mengatasi atau membantu pemecahan kesulitan atau hambatan yang dialami anak didik waktu mengikuti kegiatan belajar mengajar pada suatu bidang studi atau keseluruhan program pengajaran
- Aspek : hasil relajar, latar belakang kehidupan anak, keadaan keluarga, lingkungan dan lain-lain.
- Waktu : dapat dilaksanakan setiap saat.

C.4. Teknik Evaluasi :
Dalam pelaksanannya, evaluasi dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu teknik tes dan teknik non tes.
1. Teknik tes : berbentuk tes tertulis , lesan dan perbuatan
2. teknis non-tes : berupa angket, wawancara atau interview, observasi, quesioner atau inventory

D. Alat uji evaluasi yang valid dan otentik
Gunawan (2006:296) mendefinisikan teknik pengujian dikatakan valid dan otentik bila melibatkan murid dalam suatu kegiatan yang berharga, penting dan berartti (mengerjakan tugas yang melibatkan proses pencarian arti dan relevansi). Pengujian ini berlangsung tidak hanya sesaat tetapi mempunyai rentang waktu yang lebih lama, bersifat terbuka (mempunyai banyak kemungkinan jawaban), memberikan kesempatan pada murid untuk menunjukkan pengertian, penguasaan dan kompetensi mereka melalui berbagai cara. Misalnya dengan menggunakan multiple intelligence mereka.
Karakteristik pengujian yang valid dan otentik mempunyai karakteristik :
1. menciptakan lingkungan di mana setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil
2. lamanya pengujian berlangsung selama proses pembelajaran, dan pengujian ini ini memberikan suatu gambaran yang akurat mengenai prestasi murid
3. memberikan kesempatan yang besar kepada guru untuk menyusun dan mengembangkan kuikulum yang berbobot danmelakukan pengujian yang sesuai dengan program program yang ia rancang dan kembangkan
4. lebih bertumpu pada kelebihan dan kekuatan murid, bukan pada kelemahannya
5. memberikan kesempatan evaluasi dengan memperhatikan berbagai aspek dan kriteria yang dapat menunjukkan secara mendalam kemaajuan yang dicapai anak didik
6. memperlakukan setiap anak sebagai individu yang uniuk dan berharga dengan memperhatikan tidak hanya aspek fisik tetapi juga aspek pikiran, perasaan/emosi, ingatan dan kesadaran
7. memberikan kesempatan untuk menghilangkan bias kebudayaan dan memberi setiap anak kesempatan yang sama untuk berhasil
8. memperlakukan pembelajaran dan pengujian sebagai suatu kesatuan dalam kegiatan yang berpadu
9. mendorong dan melatih murid untuk secara independent dan terus menerus melakukan refleksi atas dirinya sendiri, pembelajaran dan umpan balik yang ia terima
10. berhubungan tidak hanya dengan pemahaman tetapi juga pada proses dan hasil akhir sebagai suatru kesatuan proses pembelajaran yang utuh.

Pengujian diatas melibatkan proses berpikir level tinggi bersama dengan penggunaan pengetahuan dalam lingkup yang luas dan dalam. ( Gunawan, 2006 : 298).

E. Alat uji - Evaluasi yang komprehensif
Melihat tren perkembangan teori kecerdasan siswa yang demikian kompleks (baca : tidak hanya faktor IQ semata), khususnya perkembangan dinamika multiple intelligence sebagaimana diungkapkan Howard Gardner, maka evaluasi atau pengujian yang multi dimensi sudah seharusnya dilaksanakan. Evaluasi yang komprehensif akan menghasilkan suatu nilai yang utuh dan terpadu. Tidak hanya dari satu sisi. Artinya tidak hanya dari sudut guru semata, namun juga melibatkan siswa sendiri, bila perlu, teman, bahkan orang tua sekalipun diperbolehkan menilai perkembangan belajar anak. Sehingga hasil suatu evaluasi atau penilaian selama pembelajaran, dapat diperoleh hasil yang maksimal. Memang hal ini suatu ide yang problematis dan mungkin menyulitkan. Rumit dan menyulitkan dalam konteks evaluasi pendidikan suatu negara berupa ujian nasional (UNAS) misalnya.
Selama ini dalam proses evaluasi , harus pula diakui bahwa evaluasi yang dilaksanakan baru sebatas guru kepada murid. Padahal tidak menutup kemungkinan diri siswa sendiri, teman, orang tua, dapat melakukan evaluasi pembelajaran dengan suatu kriteria yang dapat disepakati bersama. Menurut Gunawan ,2006:290) idealnya sistem pengujian itu dilakukan oleh murid sendiri sebesar 50 % (self Assesment), oleh rekan sebesar 30 % (peer assessment) dan baru oleh guru sebesar 20 % (teacher assessment).
Tingkat komprehensif demikian, setidaknya sudah diapresiasi oleh Diknas dan diaplikasi dengan model alat evaluasi berupa portofolio. Portofolio merupakan salah satu yang terbaik. Portofolio adalah sebuah kumpulan dokumen, hasil pengerjaan tugas, catatan prestasi, komentar dari rekan murid, pengamatan oleh guru, presentasi, diskusi, kerja kelompok, refleksi dan pemikiran dari murid itu sendiri mengenai proses pembelajarannya, yang semuanya tersusun dengan rapid an sistematis. (Gunawan, 2006: 301). Lebih lanjut Gunawan mengatakan portofolio tersebut dikumpulkan sejalan dengan proses pembelajaran yang dilalui murid dan digunakan sebagai alat uji dan indicator mengenai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan yang dicapai mmurid ditinjau dari berbagai aspek.
Ada tiga jenis portofoilio yang umum dipakai, yaitu portofolio kerja, portofolio hasil terbaik dan portofolio pengujian. Portofolio kerja digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan murid dalam rentang waktu tertentu. Portofolio i9ni berisi hasil kerja murid yang telah diselesaikan dan juga tugas yang masih dalam pengerjaan. Ini berfungsi untuk menyimpan tugas, hingga tugas atau hasil kerja itu dapat dipindahkan ke portofolio hasil terbaik atau pengujian.
Portofolio hasil terbaik digunakan untuk menunjukkan prestasi tertinggi yang berhasil dicapai murid. Ini merupakan kumpulan hasil kerja terbaik y6ang dicapai murid dan sangat baik untuk meningkatkan harga diri murid. Adapun portofolio pengujian digunakan untuk mencatat hasil pembelajaran murid berdasarkan tujuan kurikulum yang spesifik. Ini khusus dirancang agar murid dapat menunjukkan prestasi mereka pada tujuan kurikulum tertentu (Gunawan, 2006:302).

F. Penutup
Pembelajaran dapat dikatakan maksimal apabila ia mampu memberdayakan (sekali lagi bukan memperdayakan !) siswa. Strategi, metode, teknik pengajaran yang prima mutlak dibutuhkan dan dilaksanakan oleh guru. Selanjutnya untuk memetik hasil pembelajaran , perlu diupayakan evaluasi pembelajaran yang memberdayakan pula. Evaluasi pembelajaran yang komprehensif, menyeluruh dan terpadu adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian dalam keseluruhan proses pembelajaran, evaluasi mutlak dibutuhkan. Namun, yang dubutuhkan adalah evaluasi yang mampu menggali seluruh potensi kecerdasan siswa. Baik kognitif, efektif maupun psikomotor siswa. Apabila evaluasi menyeluruh tersebut diterapkan, suatu keniscayaan pula, siswa akan terus terdorong untuk belajar, belajar dan terus belajar tanpa henti.
Sebagai bahan renungan , bukankah kita, manusia dengan segala potensi kemanusiaan yang dimiliki, secara fitroh membutuhkan evaluasi. Baik dalam skala mikro maupun makro kehidupan. Karena manusia sesungguhnya berada pada suatu”sekolah kehidupan’ sehingga pada akhir kehidupan nantinya, kelak Tuhan akan mengevaluasi, menilai aktivitas kehidupan kita selama di dunia. Sudah sesuai dengan tujuan penciptaan atau belum. Sudah menerapkan prinsip ibadah dengan ikhlas dan benar kepada Tuhannya atau belum. sudah sesuai dengan visi misi penciptaan atau belum.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu., Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991
Dryden, Jeanete Vos, Learning Revolution, Bandung : Mizan Utama, 2003
Fatah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakaraya, 2006
Gunawan, Adi W, Born to be Genius, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005
---------------------, Genius Learning Strategy, petunjuk praktis untuk menerapkan
accelerated learning, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Majid, Abdul.,Perencanaan Pembelajaran mengembangkan standar kompetensi guru,
Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006

Diposkan oleh Cah Sholeh di Kamis, April 23, 2009

Sumber : http://sahabatilmu.blogspot.com/2009/04/evaluasi-pembelajaran-yang.html

Senin, Mei 25, 2009

Pengusaha Pembela Penyandang Cacat : “Beri Mereka Kesempatan, Bukan Kasihan”

Published 04/03/2008 - 9:37 a.m. GMT

Dengan modal sebuah mesin jahit dan uang 500.000 rupiah, ia rintis usaha kerajinan kecil dengan mempekerjakan penyandang cacat pisik. Titik Winarti mendapatkan penghargaan dari PBB karena prestasinya dalam memberdayakan penyandang cacat.

Waktu itu, tahun 1995, Titik Winarti mendirikan sebuah toko tas, busana, dan aksesoris untuk sekedar hobi saja. Maklumlah, namanya juga ibu rumah tangga, banyak waktu senggangnya. Patut diingat, mulanya ia hanya bermodal 500,000 rupiah dan satu mesin jahit. Bahan-bahan produknya sederhana saja, yakni botol-botol bekas dan bahan-bahan kain yang didaur ulang menjadi barang-barang suvenir. Tidak lama kemudian, Titik merekrut remaja karang taruna dan para ibu rumah tangga sekitar untuk menjadi pegawai tokonya. Tokonya makin lama makin ramai, wanita asal Surabaya ini kemudian memutuskan untuk menambah karyawannya. Sekarang produk-produk Tiara Handicraft telah menembus pasaran Brasil, Spanyol,dan Belanda.

Pada tahun 1999, tidak lama setelah ekonomi Indonesia diguncang krisis moneter, Titik sadar dan khawatir akan kondisi tenaga kerja di Indonesia, khususnya orang-orang cacat. Ia mengerti betapa sulitnya orang biasa mencari pekerjaan, apalagi penyandang cacat. Tanpa berpikir dua kali, ia merekrut penyandang cacat dari Yayasan Panti Bina Daksa. Bukan itu saja, ia pun mempekerjakan remaja putus sekolah dari Panti Bina Remaja. Wanita ramah yang beraksen Jawa kental ini benar-benar bertekad ingin membuktikan kepada orang banyak bahwa cacat fisik bukanlah halangan, melainkan bisa menjadi suatu bagian dari bisnis dan ekonomi. Ia yakin dengan pelatihan yang baik, para penyandang cacat dapat maju dan kreatif. Dan suksesnya toko Tiara Handicraft menjadi buktinya.
Titik mengungkapkan, tantangan paling besar baginya adalah, mengangkat martabat para remaja bina daksa dan remaja putus sekolah agar mereka diterima oleh masyarakat secara wajar.

Saat ini jumlah karyawan Titik mencapai 70 orang cacat dan setiap bulannya ia merekrut sekitar lima pegawai baru. Semua karyawan Titik tinggal bersama di gedung asrama yang ia bangun.

Titik tidak sebatas memberikan pekerjaan untuk para penyandang cacat tersebut. Tetapi mengupayakan agar mereka mendapatkan nilai lebih dari ketrampilannya. Ia dorong karyawannya supaya mau membuka usaha sendiri.Untuk itu, Titik siap membantu. Tak sedikit mantan karyawannya yang sekarang berhasil berkat bantuan Titik berupa modal dan sebuah mesin jahit. Titik juga mengungkapkan, 50 persen keuntungan usahanya ia sisihkan untuk sosial dan 50 persen untuk pengembangan usaha.

Pada tahun 2004, kerja keras Titik membela kaum cacat diakui dan mendapat penghargaan Internasional. Ia meraih penghargaan Micro EntrepreneurshipAward untuk kalangan jenis usaha kecil menengah dari PBB. Penghargaan itu diserahkan dalam acara International Micro-Credit Year di kota New York tahun 2005. Selama berada di markas PBB, Titik mendapat perlakuan istimewa. Ia duduk sejajar dengan Nane Annan, istri Sekjen PBB Koffi Annan, Putri Belgia Mathilda serta para pejabat UNDP.

Titik yang juga pernah jalan-jalan ke Thailand dan Filipina. Pernah diundang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Negara Amerika Serikat(Bureau of Educational and Cultural Affairs), untuk program International Visitor Leadership—tepatnya Women And Entrepreneurship, AProject for Indonesia pada tahun 2007. Di program khusus ini, Titikdiperkenalkan kepada pengusaha-pengusaha wanita lokal Amerika Serikat,seperti di New York, New Mexico, dan San Francisco. Melalui program tesebut, Titik belajar tentang bisnis manajemen; strategi marketing dan distribusi; market global dan kompetisi internasional; praktek bisnis dan aktivitas lokal AS; hukum ekonomi dan ekspor/impor internasional;dan tanggung jawab sosial bagi pengusaha. Ketika ditanya Kabari bagaimana pengalamannya, Titik dengan mata berbinar menjawab, “Wah saya senang sekali dan merasa sangat beruntung bisa diundang ke Amerika untuk mempelajari pengetahuan baru. Amerika itu hebat sekali, semuanya serba teratur dan sistematis. Kemarin saya sempat mengunjungi bank untuk mempelajari bagaimana caranya meminjam kredit untuk modal usaha.”

Wanita yang kunjungannya ke Amerika ditemani seorang penterjemah bernama Wendy Gaylord, menambahkan kesan-kesannya tentang Amerika, “Saya suka dengankota San Francisco. Kotanya cantik sekali, ya. Orang-orangnya juga ramah, udaranya bagus, banyak orang Asia. Saya pengen balik mengunjungi San Francisco.” *

Profil*
>Nama: Titik Winarti
>Tanggal Lahir: Surabaya, 11 Maret 1970
>Status/Posisi: Pemilik toko Tiara Handicraft
>Alamat Toko: JL. Sidosermo Indah Ii No.5, Surabaya, Indonesia
>Pendidikan: SMA Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia, Surabaya, lulus tahun 1988
>Penghargaan:
-Penghargaan dari Gubernur, Model Teladan Masyarkat Sosial, 2005
-Penghargaan untuk Wanita Paling Terkemuka, Plaza Semanggi, 2005
-Woman of The Year, ANTV Televisi Nasional, 2005
-Penghargaan dari Presiden Republik Indonesia, 2005
-Penghargaan Desain Tekstil oleh Menteri Perdagangan, 2005
-Penghargaan untuk Prestasi Membela Kaum Tuna Daksa oleh Menteri Sosial, 2005
-Penghargaan untuk Membela Kaum Tuna Daksa, Konferens Tuna Daksa, 2005
-Penghargaan Micro Entrepreneurship, United Nations/PBB, 2004
-Penghargaan sebagai Prestasi Terbaik bagi Wiraswasta Kecil dan Menengah oleh State Power Co 2004
-Penghargaan Daerah, 2004
-Penghargaan oleh Walikota, Wiraswasta Kecil atau Menengah Terbaik, 2002

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31217
http://www.kabarinews.com/printFriendly.cfm?articleID=31217

Perlunya Pengetahuan Hidup bagi Wanita




Saya pernah membaca kisah seorang wanita pengusaha yang memulai usahanya dari nol. Uniknya si ibu muda ini dulunya pernah mengenyam bangku kuliah sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Semasa kuliah ia aktif dalam salah satu organisasi di kampusnya. Setelah menikah ia tinggalkan semua aktifitas di luar, karena sang suami yang seorang pengusaha menginginkan ia menjadi seorang ibu rumah tangga sejati yang hanya mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya.

Kisah usaha ibu muda ini berawal dari kegagalan usaha sang suami yang berujung pada kebangkrutan. Sang suami saat itu mengalami depresi karena kegagalannya tersebut. Melihat kondisi seperti itu, wanita tegar ini langsung berinisiatif untuk menghidupkan kembali salah satu usaha milik suaminya. Saat itu yang masih mereka punyai hanya beberapa unit mesin jahit bekas usaha konveksi suaminya.

Dengan semangat ia mulai mempelajari teknik membuat pola dan menjahit hingga akhirnya ia bisa membuat sebuah blazer yang kemudian ia jajakan contoh jahitannya itu dari satu toko ke toko lain di sebuah pasar di Jakarta.

Awal usahanya ini memang berat, toko-toko yang ia datangi menolak contoh jahitannya itu. Beberapa hari kemudian akhirnya sebuah toko bersedia menjual blazernya. Dan ternyata kegigihannya membuahkan hasil; blazernya laku keras, orderan pun mengalir deras, hingga akhirnya ia bisa mempekerjakan banyak karyawan, memperbesar usahanya dan tentu saja berhasil menyelamatkan biduk rumah tangganya yang hampir karam.

***

Baru-baru ini ada kisah menarik tentang seorang ibu muda berusia 34 tahun asal Wonocolo Surabaya. Ia adalah seorang pengusaha mikro lulusan sekolah menengah atas. Pada tanggal 18 November yang lalu ia menghadiri sekaligus berbicara di Ruang Konferensi II Markas Besar PBB setelah memenangi lomba Micro Credit Award 2005 yang diselenggarakan oleh Kantor Menko Perekonomian. Ia berada di forum internasional yang dihadiri 250 delegasi negara anggota PBB itu untuk menghadiri pencanangan Tahun Kredit Mikro Internasional 2005.

Penuturan ibu muda berputra tiga orang ini tentang usaha kecilnya mengundang decak kagum siapa pun yang hadir saat itu. Ia tidak hanya telah berhasil mengembangkan usaha membuat pakaian, tas, aksesori, dan barang kerajinan dari kain atau percanya yang diawalnya pada tahun 1998 dengan hanya bermodalkan uang 500 ribu rupiah itu dengan secara profesional tapi juga ia telah berhasil membina dan memberdayakan para pekerjanya yang 80 persen adalah tuna daksa.

Atas hadiah yang diterima, ia mengatakan uang itu akan digunakan membangun paviliun guna menampung para tuna daksa dan remaja putus sekolah yang dilatih di rumahnya, karena selama ini para pekerjanya tidur di setiap celah yang ada di rumahnya.

***

Seperti kata Ibu Dewi Sartika, salah satu Pahlawan Emansipasi Wanita Indonesia, bahwa wanita harus mempunyai pengetahuan untuk hidup. Perkataannya itu keluar sebagai kesadarannya yang timbul setelah bapaknya yang seorang patih di Bandung meninggal dunia, dan kekayaan keluarganya disita oleh pemerintah Belanda. Saat itu usianya masih belasan tahun, tapi Dewi sartika dan ibunya harus berjuang untuk hidup.

Ya, wanita memang harus mempunyai pengetahuan untuk hidup. Ada kalanya kehidupan datang tidak seperti yang kita inginkan. Seperti kejadian ibu muda di atas yang tiba-tiba harus berjuang menyelamatkan rumah tangganya. Beruntung si ibu ini pernah mengenyam pengalaman berorganisasi sehingga pada dirinya sudah tertanam keterampilan interpersonal yang baik juga semangat untuk berjuang dan belajar. Bagaimana halnya jika hal ini terjadi pada wanita yang selama hidupnya serba lancar-lancar saja, maksudnya belum pernah mengalami terpaan hidup? Bisa jadi ia pun bisa menjadi penyelamat biduk rumah tangganya, tapi bukankah sesuatu yang datangnya tiba-tiba akan memberikan goncangan jiwa yang tidak bisa dianggap enteng?

Banyak para suami, karena terlalu sayang pada istri, tidak mengizinkan para istri untuk bekerja. Hal ini memang bisa dipahami karena suamilah yang bertugas mencukupi kehidupan keluarga. Tapi alangkah baiknya jika para suami pun memberikan keterampilan hidup bagi para istrinya atau memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga istrinya bisa memiliki peranan tidak hanya dalam rumah tangganya saja tapi juga peranan dalam membina lingkungan masyarakatnya seperti halnya ibu muda pengusaha mikro yang saya ceritakan di atas.

Ada juga wanita yang setelah anak-anaknya tumbuh dewasa, baru bisa membantu finansial keluarga ataupun turut aktif dalam mewujudkan keshalehan sosial di lingkungannya. Selama masa-masa membesarkan anak-anaknya, dia tidak pernah berhenti belajar sehingga ketika saatnya tiba dia bisa berperan lebih.

Memang sulit bagi wanita zaman sekarang untuk berperan ganda. Di zaman yang penuh tantangan ini tidaklah mudah mendidik anak sementara dia juga harus aktif di luar rumah, seperti bekerja ataupun aktif dalam kegiatan masyarakat. Jangan-jangan sukses di luar tapi anak-anaknya mengalami degradasi moral akibat kurangnya perhatian orang tua yang sibuk bekerja. Hal ini dikembalikan kepada istri dan sang suami karena ternyata tidak sedikit keluarga yang istrinya bekerja tapi bisa mengantarkan anak-anaknya menjadi pribadi yang mandiri dan berakhlak baik.

Ada baiknya kita renungkan kembali perkataan Ibu Kita Dewi Sartika juga pengalaman sebagian wanita �petarung�, seperti cerita wanita di atas, tentang pentingnya wanita memiliki keterampilan hidup sejak dini, agar di saat yang tepat mereka mampu berperan lebih dan tampil mandiri tanpa harus merepotkan orang-orang di sekitarnya di saat-saat biduk rumah tangganya berada pada kondisi gawat darurat.

http://www.dudung.net/artikel-bebas/perlunya-pengetahuan-hidup-bagi-wanita.html

Peran Self-Efisiency dan Persepsi Bentuk Dukungan Terhadap Prestasi Akademik Anak Penyandang Tuna Daksa

Data dari laporan PBB pada tahun 1998 menyatakan jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 10 juta orang. Namun, diduga jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar dari data yang ada (www.usembassyjakarta.org, 1998). Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpandangan negatif terhadap para penyandang cacat. Kesulitan-kesulitan yang dialami penyandang cacat tidak hanya berasal dari keterbatasan fisik mereka saja, tetapi juga dari orang-orang di sekitar mereka, termasuk keluarga mereka. Masih ada orangtua yang tega menyembunyikan anak mereka demi menghindari malu (www.usembassy.org, 1998). Dalam penelitian ini, penyandang cacat yang dimaksud adalah penyandang tuna daksa. Jenis ketunaan mereka dapat terlihat dari luar. Mereka dapat melihat keadaan tubuh mereka yang berbeda dari orang lain yang akan berdampak pada kondisi psikologis dan penerimaan sosial terhadap penyandang tuna daksa. Anak tuna daksa adalah anak yang menderita cacat akibat polio myelitis, kecelakaan, keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot-otot, peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf (Mangunsong, et. al, 1998). Masalah yang perlu diperhatikan pada anak tuna daksa, yaitu masalah akademis serta psikologis.Tenaga kerja penyandang cacat sering mengalami diskriminasi, misalnya adanya persyaratan sehat jasmani yang sering diartikan tidak cacat dalam berbagai proses perekrutan karyawan (www.kompas.com, 2002). Untuk itu, penting bagi penyandang tuna daksa untuk memiliki prestasi baik sehingga mereka dapat memperbesar kesempatan mereka bersaing dengan tenaga kerja ‘normal’.Prestasi akademis adalah suatu tingkat kecakapan atau penguasaan yang berhasil dicapai siswa pada tugas-tugas akademik atau skolastik (Arifin, 1988). Buku rapor yang merupakan laporan evaluasi hasil belajar siswa selama periode belajar tertentu dijadikan sebagai acuan prestasi akademis. Dua faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi akademis adalah self-efficacy dan dukungan sosial dari keluarga. Menurut Pajares (dalam Stipek 2002), self-efficacy merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap performa akademis dibandingkan dengan persepsi yang lebih umum tentang kompetensi akademis, seperti inteligensi. Dukungan sosial dari keluarga mempunyai peranan penting terhadap prestasi akademis karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Perlakuan keluarga terhadap individu akan berpengaruh pada perkembangan individu selanjutnya, termasuk dalam pendidikan. Menurut Bandura (dalam Pintrich & Schunk, 1996), self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai performa yang diinginkan. Self-efficacy mempengaruhi pemilihan aktivitas, usaha, dan ketahanan. Cobb (dalam Friedman & Matteo, 1989), dukungan sosial sebagai informasi yang membimbing seseorang untuk percaya bahwa ia dicintai, dihargai, dan merupakan bagian dari sebuah jaringan komunikasi dan kewajiban yang sama. Beberapa bentuk dukungan sosial menurut Cohen & McKay (dalam Sarafino, 1994), antara lain emotional support, esteem support, instrumental support, informational support, network support. Dampak dari dukungan sosial tergantung bagaimana dukungan sosial dipersepsi.Penelitian ini dilakukan secara kualitatif agar peneliti bisa mendapatkan informasi lebih mendalam tentang bagaimana peran self-efficacy dan persepsi bentuk dukungan sosial terhadap prestasi akademis anak tuna daksa. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi. Pendekatan baik dengan anak tuna daksa maupun keluarganya dilakukan sebelum proses wawancara dilaksanakan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa self-efficacy dan persepsi bentuk dukungan sosial mempunyai peranan penting terhadap prestasi akademis anak tuna daksa.Hal lain yang dapat disimpulkan adalah persepsi bentuk dukungan sosial dari keluarga dapat berpengaruh terhadap self-efficacy individu dalam bidang akademis. Selain itu, semakin terlihat dan parahnya ‘kecacatan’ seseorang maka dampak yang ditimbulkan juga akan semakin besar.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan kepada pihak-pihak yang terkait dengan anak tuna daksa, seperti keluarga dan tenaga pengajar untuk lebih memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak tuna daksa untuk dapat berkembang dengan baik.

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=134487

Pera Self-Efisiency dan Persepsi Bentuk Dukungan Terhadap Prestasi Akademik

Data dari laporan PBB pada tahun 1998 menyatakan jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 10 juta orang. Namun, diduga jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar dari data yang ada (www.usembassyjakarta.org, 1998). Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpandangan negatif terhadap para penyandang cacat. Kesulitan-kesulitan yang dialami penyandang cacat tidak hanya berasal dari keterbatasan fisik mereka saja, tetapi juga dari orang-orang di sekitar mereka, termasuk keluarga mereka. Masih ada orangtua yang tega menyembunyikan anak mereka demi menghindari malu (www.usembassy.org, 1998). Dalam penelitian ini, penyandang cacat yang dimaksud adalah penyandang tuna daksa. Jenis ketunaan mereka dapat terlihat dari luar. Mereka dapat melihat keadaan tubuh mereka yang berbeda dari orang lain yang akan berdampak pada kondisi psikologis dan penerimaan sosial terhadap penyandang tuna daksa. Anak tuna daksa adalah anak yang menderita cacat akibat polio myelitis, kecelakaan, keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot-otot, peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf (Mangunsong, et. al, 1998). Masalah yang perlu diperhatikan pada anak tuna daksa, yaitu masalah akademis serta psikologis.Tenaga kerja penyandang cacat sering mengalami diskriminasi, misalnya adanya persyaratan sehat jasmani yang sering diartikan tidak cacat dalam berbagai proses perekrutan karyawan (www.kompas.com, 2002). Untuk itu, penting bagi penyandang tuna daksa untuk memiliki prestasi baik sehingga mereka dapat memperbesar kesempatan mereka bersaing dengan tenaga kerja ‘normal’.Prestasi akademis adalah suatu tingkat kecakapan atau penguasaan yang berhasil dicapai siswa pada tugas-tugas akademik atau skolastik (Arifin, 1988). Buku rapor yang merupakan laporan evaluasi hasil belajar siswa selama periode belajar tertentu dijadikan sebagai acuan prestasi akademis. Dua faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi akademis adalah self-efficacy dan dukungan sosial dari keluarga. Menurut Pajares (dalam Stipek 2002), self-efficacy merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap performa akademis dibandingkan dengan persepsi yang lebih umum tentang kompetensi akademis, seperti inteligensi. Dukungan sosial dari keluarga mempunyai peranan penting terhadap prestasi akademis karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Perlakuan keluarga terhadap individu akan berpengaruh pada perkembangan individu selanjutnya, termasuk dalam pendidikan. Menurut Bandura (dalam Pintrich & Schunk, 1996), self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencapai performa yang diinginkan. Self-efficacy mempengaruhi pemilihan aktivitas, usaha, dan ketahanan. Cobb (dalam Friedman & Matteo, 1989), dukungan sosial sebagai informasi yang membimbing seseorang untuk percaya bahwa ia dicintai, dihargai, dan merupakan bagian dari sebuah jaringan komunikasi dan kewajiban yang sama. Beberapa bentuk dukungan sosial menurut Cohen & McKay (dalam Sarafino, 1994), antara lain emotional support, esteem support, instrumental support, informational support, network support. Dampak dari dukungan sosial tergantung bagaimana dukungan sosial dipersepsi.Penelitian ini dilakukan secara kualitatif agar peneliti bisa mendapatkan informasi lebih mendalam tentang bagaimana peran self-efficacy dan persepsi bentuk dukungan sosial terhadap prestasi akademis anak tuna daksa. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi. Pendekatan baik dengan anak tuna daksa maupun keluarganya dilakukan sebelum proses wawancara dilaksanakan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa self-efficacy dan persepsi bentuk dukungan sosial mempunyai peranan penting terhadap prestasi akademis anak tuna daksa.Hal lain yang dapat disimpulkan adalah persepsi bentuk dukungan sosial dari keluarga dapat berpengaruh terhadap self-efficacy individu dalam bidang akademis. Selain itu, semakin terlihat dan parahnya ‘kecacatan’ seseorang maka dampak yang ditimbulkan juga akan semakin besar.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan kepada pihak-pihak yang terkait dengan anak tuna daksa, seperti keluarga dan tenaga pengajar untuk lebih memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak tuna daksa untuk dapat berkembang dengan baik.

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=134487

revormasi kebijakan pendidikan nasional


Written by anggi sandi sitoena
Rabu, 07 November 2007

Artikel:
REFORMASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
Oleh : Drs. Nurkolis, MM

1. Pendahuluan
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam ranka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. Seperti tertuang pada pasal 8 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB).

Namun dalam kenyataan prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat sedikit. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat kita yang mengabaikan potensi anak cacat. Pada umumnya masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu. Telah banyak bukti bahwa orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Pada hakikatnya kecacatan seseorang bukanlah merupakan penghalang untuk melakukan sesuatu. Banyak orang yang tidak memiliki tangan namun bisa menghasilkan lukisan dengan baik, ada orang yang tidak bisa berjalan namun menjadi ahli fisika ternama seperti Stephen Hopkins. Ada orang yang tidak bisa bicara dengan baik namun berhasil menjadi model seperti Katrin.

2. Pengertian Reformasi
Apakah reformasi itu? Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.

Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.

3. Reformasi Kebijakan Pendidikan
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang penidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu terprogram dan sistemik. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan. Yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan. Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi pendidikan. Sementara itu reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyankut struktur kekuasaan yang ada.

Reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah manajemen lokal (on-site management), pemberdayaan guru, perhatian pada daerah setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.

Sementara itu kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Kebijakan adalah keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan.

Dengan demikian reformasi kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.

4. Pendidikan Luar Biasa
PLB adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental, perilaku atau gabungan diantaranya. PLB bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental atau keduanya agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

Selanjutnya dijelaskan tentang tujuan PLB secara dirinci yaitu: (1) mengembangkan kehidupan anak didik dan siswa sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan, membiasakan berperilaku yang baik, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, memelihara kesehatan jasmani dan rohani, memberikan kemampuan untuk belajar dan mengembangkan kepribadian yang mantap dan mandiri, (2) mengembangkan kehidupan anak didik dan siswa sebagai anggota masyarakat yang sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat, menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (3) mempersiapkan siswa untuk dapat memiliki keterampilan sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja dan (4) mempersiapkan anak didik dan siswa untuk mengikuti pendidikan lanjutan dalam menguasai isi kurikulum yang disyaratkan.

Jenis kelainan peserta didik berdasarkan PP RI No. 27 tahun 1991 tentang PLB disebutkan yaitu terdiri atas kelainan fisik yang meliputi tuna netra, tuna rungu, tuna daksa. Kelainan mental yang meliputi tuna grahita ringan, tuna grahita sedang, kelainan perilaku yaitu tuna laras atau gabungan diataranya. Mereka yang menderika kelainan tersebut dididik dalam satuan pendidikan yang berbentuk TK Luar Biasa, SD Luar Biasa, SLTP Luar Biasa, SM Luar Biasa atau bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan.

Dalam penjelasan PP tersebut di atas juga dirinci maksud dari berbagai tuna tersebut. Tuna netra adalah kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat atau buta. Tuna rungu adalah kerusakan atau cacat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tak dapat mendengar atau tuli atau pekak. Tuna daksa adalah cacat tubuh. Tuna grahita adalah keterbatasan mental dan termasuk di sini adalah keterbelakangan mental ringan dan keterbalekangan mental sedang. Tuna laras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Isi kurikulum PLB sedapat mungkin disesuaikan dengan isi kurikulum sekolah pada umumnya dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum PLB dapat dilihat pada lampiran 1.

Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa diatur penyelenggaraan PLB yaitu dapat diselenggarakan melalui pendidikan terpadu, kelas khusus, guru kunjungan dan atau bentuk pelayanan pendidikan lainnya. Pendidikan terpadu merupakan pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di jalur pendidikan sekolah. Kelas khusus merupakan kelompok belajar pada SD, SLTP dan Sekolah Menengah bagi siswa berkelainan dalam rangka memperoleh pelayanan pendidikan khusus hingga tamat. Guru kunjungan merupakan guru pada TKLB, SDLB, SLTPLB dan SMLB yang diberi tugas mengajar pada kelompok belajar bagi anak berkelainan yang tidak dapat terjangkau oleh satuan PLB dalam rangka wajib belajar.

5. Kondisi Terkini PLB di Indonesia
Dalam rangka melaksanakan kebijakan program PLB sesuai Keputusan Mendiknas No. 010/O/2000 tentang Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah yang salah satunya menyatakan terbentuknya Direktorat PLB mempunyai rumusan visi dan misi sebagai berikut:

Visi:
Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak yang berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Misi:
a. Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh PLB sesuai dengan potensi dan kemampuan dasar yang dimiliki baik melalui pendidikan secara segregasi maupun terpadu/inklusi.
b. Meningkatkan mutu dan relevansi PLB baik pengetahuan pengalaman, atau ketrampilan, sehingga para peserta didik memiliki bekal keimanan, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam memasuki kehidupan dalam masyarakat.
c. Meningkatakan manajemen dan kapasitas pengelola dan pembina, serta guru, dan tenaga kependidikan lainnya pada PLB sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal dan profesional terhadap peserta didik dan masyarakat.
d. Memperluas jejaring (networking) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan PLB.

Tujuan :
a. Mensukseskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun bagi anak berkebutuhan khusus dengan meningkatkan program perluasan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus yang berpedoman pada azaz pemerataan.
b. Mewujudkan iklim masyarakat belajar bagi kalangan orang tua, anak, maupun masyarakat.
c. Meningktakan kepedulian dan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
d. Meningkatkan usaha penignkatan mutu PLB melalui pengadaan sarana prasarana, peningkatan kualitas guru, penigngkatan pembinaan PLB sesuai dengan kurikulum yang berlaku, penanaman wawasan imtaq dan iptek serta penataan kelembagaan.

Sasaran:
a. Tertampungnya anak berkebutuhan khusus usia sekolah pada lembaga pendidikan luar biasa dan pendidikan umum yang ada.
b. Tersedianya sarana prasaran, sumber dan bahan belajar serta tenaga kependidkna luar biasa yang bermutu dan cukup jumlah (memadai).
c. Tersedianya beasiswa bagi anak berkebutuhan khusus yang berprestasi dan kurang mampu dalam rangka mensukseskan wajib belajar.
d. Terwujudnya peranserta dan kerjasama antara sekolah dan masyarakat, dunia usaha, maupun dunia industri.
e. Terciptanya iklim belajar yang mendukung terwujudnya masyarakat belajar dalam rangka pemerataan kesempatan belajar khususnya bagi anak berkebutuhan khusus.

Program penyelenggaraan PLB yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh Direktorat PLB antara lain:
1. Upaya Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Perluasan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus usia sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat menengah melalui pengembangan pendidikan terpadu dan pengadaan tenaga khusus pengelola pendidikan luar biasa.
2. Peningkatan Mutu PLB Upaya peningkatan mutu PLB melalui :
a. Peningkatan mutu dan kualifikasi guru sekolah luar biasa melalui pelatihan dan penyetaraan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, serta usaha peningkatan pendidikan akademik baik di dalam maupun di luar negeri.
b. Penyediaan buku-buku teks baik dalam tulisan huruf awas maupun braille yang mengacu pada kurikulum PLB, penyediaan sarana dan prasarana PLB, dan pelaksanaan EBTA SLB Khusus secara nasional.
c. Pembinaan dan pengembangan center percetakan Braille dengan tujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana belajar yang lebih lengkap, tepat waktu, dan berkualitas baik.
3. Pengembangan Pendidikan Inklusi.
Pendidkan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Upaya pendidikan inklusi harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
4. Pengembangan Pendidikan untuk Anak Autisme Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi/simbolik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi anak autisme memerlukan cara atau metode khusus sehingga mereka mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka Direktorat PLB perlu memfasilitasi agar anak-anak autisme mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.

5. Resource Center.
Resource Center dalam implementasinya adalah SLB-A Negeri dan Swasta yang ditunjuk untuk menjadi pusat pencetakan buku pelajaran maupun buku-buku referensi bagi siswa dan kaum tuna netra di masyarakat dalam huruf Braille. Tujuannya adalah agar kaum tuna netra dapat menguasai ilmu pengetahuan dan dunia lewat bacaan perabaan timbul yang dihasilkan oleh mesin Braille dari Norwegia.

6. Pusat Pelayanan Pendidikan bagi Siswa Penderita Narkoba
Model layanan pendidkan harus berpijak pada misi utama : pertama, model layanan pendidikan harus mengejawantah sebagai wujud pemenuhan hak belajar siswa penderita. Kedua, model layanan pendidikan harus mampu mengembalikan atau memulihkan prakondisi psiklogis siswa penderita untuk tetap belajar sebagai upaya meningkatkan kembali self-esteem-nya yang sempat terganggu karena pengaruh narkoba.Bahkan bukan tidak mungkin bahwa proses pembelajaran sekaligus dapat merupakan terapi non-medis bagi upaya pemulihan kondisi psikis siswa penderita.

7. Sheltered Workshop
Guna memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja dan membudayakan hidup berwirausaha maka konsep lifi skills education di sekolah merupakan wacana baru dalam pengembangan program pendidikan dan sejak lama menjadi perhatian para pakar kurikulum. Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja.

8. Pendidikan Keterampilan bagi Lulusan SLTPLB dan SMLB
Pendidikan keterampilan bagi para lulusan SLTPLB dan SMLB yang diberikan , sesuai dengan kemampuan fisik dan minat anak yang mengacu pada kurikulum PLB tahun 1994. Keterampilan ini diberikan sebagai bekal mereka untuk hidup mandiri di masyarakat. Pelaksanaanya dilakukan disuatu center yang dilengkapi dengan fasilitas asrama, praktik penjualan produk dalam bentuk koperasi, dan sarana lain yang mencakup dunia usaha/industri. Jenis keterampialn yang diajarkan antara lain mesin otomotif, jahit menjahit, pertukangan, dan menganyam. Proses pendidikan keterampilan bagi lulusan SLTPLB/SMLB direncanakan akan dilakukan di suatu tempat penampungan atau home base atau bengkel kerja dengan kriteria sbb :

a. Proses pendidikan dan latihan :
1) Peserta adalah lulusan SLTPLB atau SMLB
2) Lama DikLat 6 bulan
3) Keterampilan yang diikuti sesuai minat dan bakat
4) Pelaksanaan DikLat 40 % teori 60 % praktik
5) Instruktur dari guru keterampilan dan dari dunia usaha/industri
6) Peralatan dan bahan praktik menggunakan bahan lokal yang mudah didapat di sekitar atau dapat juga memanfaatkan limbah.
b. Proses kerjasama dengan dunia usaha/industri :
1) Dunia usaha dan dunia industri diharapkan membantu mrnyediakan bahan peralatan dan instruktur
2) Peserta diklat dapat bekerja secara magang selama 6 bulan sesuai dengan bidang keterampilannya
3) Setelah selesai mengikuti diklat, peserta memperolah sertifikat dan dapat dipertimbangkan untuk bekerja di dunia usaha sesuai dengan bidang keterampilannya.

9. Program Percepatan Belajar (akselerasi)
Program percepatan belajar merupakan salah satu model pelayanan pendidikan bagi peserta didik yanng memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (Gifted dan Talented ) . Penggunaan istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa ini berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan , kecerdasan berhubungan dengan perkembangan intelektual, sedang kemampuan luar biasa tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual , namun juga beberapa jenis kemampuan lainnya misalnya linguistik, musikal,, spasial, logikal-matematikal, kinestetik, intrapersonal, dan interpersonal.

10. Pemberian Beasiswa
Direktorat PLB memberikan bantuan beasiswa kepada siswa SLB/SDLB dengan tujuan:

a. meringankan beban orang tua siswa
b. memberi motivasi kepada siswa untuk lebih giat belajar
c. memberi motivasi kepada orangtua untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya
d. mendorong sekolah untuk lebih memberikan pelayanan pendidikan.

Berdasarkan statistik persekolahan PLB 1999/2000 menunjukkan bahwa hanya sebanyak 37.460 anak cacat saja yang telah mendapat pelayanan pendidikan negeri dan swasta. Sementara itu anak-anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara khusus. Jumlah itu menyebar pada TKPLB 7.009 siswa SDPLB 23.669 siswa, SLTPPLB 5.157 siswa, SMPLB 1.625 siswa. Semuanya tertampung di dalam 868 sekolah dengan rincian PLB Negeri sebanyak 36 sekolah atau 4,15 % yang menampung sebanyak 3.081 siswa atau 8,22 % dan PLB swasta sebanyak 832 sekolah atau 95,85 % yang menampung 34.379 siswa atau 91,78 %. Penyebaran ini dapat dilihat pada grafik di lampiran 2.

6. Reformasi Kebijakan PLB
Menurut PBB bahwa di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekiar 500 juta orang cacat. Dari total itu sekitar 80 % hidup di negara-negara berkembang. Prefalensi orang yang menderita cacat atau kelainan sekitar 2.3 % dari total populasi, sedangkan angka prefalensi anak berbakat sekitar 2 %. Artinya setiap 1.000 orang terdapat 23 orang yang menderita cacat, dan setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat. Berkaitan dengan penderita cacat ini bila penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249 maka penderita cacat atau kelainan adalah sekitar 1.759.000 orang dan terdapat anak berbakat sebanyak 1.529.565 siswa.

Bila kita cermati pelaksanan PLB maka tampak adanya tiga kekurangan utama dalam penyelengaraan PLB. Pertama, prosentase penderita cacat yang mendapatkan layanan pendidikan kecil sekali yaitu 0,2 % pada tahun 2000 seperti terlihat pada grafik terlampir. Sementara itu anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara serius walau sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan layanan khusus. Kedua, perhatian pemerintah pada penderita cacat masih amat rendah yang hanya menyediakan 4 % dari total sekolah dan menampung 8 % dari penderita cacat yang bersekolah. Ketiga, layanan PLB mayoritas terdapat di lima kota besar di Jawa yang berarti penderita cacat di kota-kota kecil dan terpencil masih banyak terabaikan.

Kondisi ini tidak bisa kita biarkan terus berlanjut bila tidak ingin muncul ancaman baru berupa krisis sumber daya manusia. Meminjam istilah PBB disebut krisis tak tampak (silent crisis) yang tidak hanya berpengaruh terhadap para penyandang cacat dan keluarganya saja tetapi juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial pada masyarakat luas. Perlu diingat kembali bahwa manusia adalah sebagai salah satu faktor produksi yang amat penting dalam sistem ekonomi. Untuk itulah perlu adanya perhatian yang serius terhadap orang-orang cacat dan berbakat tersebut melalui pendidikan luar biasa.

Untuk melaksanakan reformasi PLB perlu diketahui pula isu-isu dalam penyelenggaraan PLB yang berkembang saat ini adalah sebagai berikut ini:

1. Normalisasi (normalization) yaitu membuat lingkungan pendidikan dan lingkungan kehidupan sehari-hari siswa yang menderita kelainan senormal mungkin sebagaimana orang normal.
2. Intergrasi (integration) yaitu pendidikan luar bisa dan pendidikan pada umumnya terintegrasi secara bersama-sama sehingga siswa yang memiliki kelainan tidak dipisahkan dari mereka yang normal.
3. Keanekaragaman budaya (cultural diversity) yaitu memahami dan menghargai perbedaan budaya serta perbedaan di dalam kelas sehingga terjadi kerjasama diantara mereka yang memiliki perbedaan budaya.
4. Adanya campur-tangan sejak dini (early intervention) yaitu perlu adanya indentivikasi kelainan sejak dini pada kehidupan siswa dan menyediakan program pendidikan yang efektif. Perlu pula adanya penyediaan jasa-jasa pelayanan kepada siswa yang memiliki kelainan yang dirancang untuk memaksimalkan potensi anak dan meminimalkan ketidakmampuannya.
5. Transisi (transition) yaitu mempersiapkan siswa yang menderita kelainan untuk memasuki dunia kerja dan kehidupan orang dewasa. Termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan meniti karir. Dengan demikian mereka bisa meraih prestasi maksimal baik dalam kemandirian maupun produktivitas. Selain itu perlu juga dikemukakan pernyataan misi dan aksi Unesco dalam menangani anak-anak cacat. Dinyatakan secara ekplisit pada kerangka kerja pendidikan inklusif yang diambil dari konferensi Salamanca tahun 1994.
1. Sekolah-sekolah harus mengakomodasikan semua siswa tanpa melihat kondisi pisik, intelektual, emosi, sosial dan bahasanya.
2. Sekolah-sekolah reguler yang memiliki orientasi pendidikan inklusif adalah alat yang paling efektif untuk memberantas diskriminasi sikap, membentuk masyarakat terbuka, membangun masyarakat dan mencapai pendidikan untuk semua (education for all).
3. Untuk menghilangkan marjinalisasi terhadap orang-orang cacat maka sistem pendidikan harus fleksibel, inklusif dan sekolah harus aktif mencari siswa-siswa yang tidak mendaftarkan ke sekolah. Sekolah juga harus merespon secara fleksibel kondisi dan kebutuhan selusuh siswanya.

Dari berbagai fakta dan isu yang berkembang pada pendidikan PLB tersebut di atas harus dijadikan dasar aksi reformasi kebijakan PLB di Indonesia. Maka reformasi kebijakan PLB di Indonesia dapat ditempuh melalui upaya berikut ini:

a. Landasan utama reformasi PLB adalah pengakuan atau penghormatan hak asasi manusia yang tak lain adalah merupakan kebebasan mendasar dan persamaan hidup. Maka mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan dan hidup secara layak. Orang-orang cacat harus dibebaskan dari hambatan fisik dan hambatan sosial yang selama ini menghalanginya. Masyarakat harus menghilangkan tindakan diskriminatif, meningkatkan kepedulian terhadap orang-orang cacat dan memberikan akses kepada mereka untuk hidup secara layak.
b. Sebagai realisasi atau perwujudan pengakuan atau penghormatan HAM adalah terbukanya akses pernderita cacat baik secara internal maupun eksternal:

1. Akses internal untuk memberikan pendidikan yang layak kepada penderita cacat sehingga memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mamadai. Oleh karena itu PLB tidak boleh teralienasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu PLB harus menekankan pada upaya pemupukan kepercayaan diri siswa sehingga mampu bertindak secara layak untuk menjalani hidup dan bekerja secara wajar.
2. Akses eksternal dengan memberikan peluang seluas-luasnya dalam mendapatkan kesempatan kerja, berkiprah dalam bidang politik dan pemerintahan, berprestasi dalam bidang sosial, seni dan budaya, olah raga dan lain sebagainya. Selain itu akses ke masyarakat juga diwujudkan dalam perlakuan secara wajar dan tanpa diskriminasi kepada para penyandang cacat.
3. Perlu adanya identivikasi sejak dini dari orang tua dan keluarga akan kebutuhan masing-masing siswa yang memiliki kelainan. Dengan demikian mereka bisa diarahkan secara tepat untuk masuk pendidikan jenis apa dan memerlukan keterampilan jenis tertentu sehingga bermanfaat dalam hidupnya. Selain itu perlu adanya kerjasama yang lebih erat antara guru PLB dengan orang tua atau pengasuhnya serta para ahli untuk dapat memaksimalkan potensi yang ada pada siswa-siswa PLB. Orang tua dan pengasuhnya harus mengikuti perkembangan anaknya baik yang menyangkut kesulitan yang dialaminnya maupun kemajuan yang telah diperolehnya.
4. Pemerintah harus lebih memperhatikan penyandang cacat secara lebih serius dengan tidak hanya mengeluarkan undang-undang, peraturan pemerintah ataupun keputusan menteri tetapi yang lebih penting adalah inforsment-nya. Oleh karena itu harus diwujudkan dalam penyediaan anggaran dan pengalokasian dana yang proporsional kepada penderita cacat. Sehingga reformasi kebijakan PLB tampak pada gambar di bawah ini.

7. Kesimpulan
Pendidikan luar biasa hendaknya menjadi satu kesatuan dengan pendidikan normal lainnya, sehingga tidak akan terjadi isolasi pada mereka yang mendetika kelainan. Untuk itu upaya reformasi pendidikan luar baisa adalah amat mendesak agar sumber daya manusia bisa berfungsi secara maksimal. Jelas sekali bahwa upaya reformasi pendidikan lar biasa perlu adanya dukungan berbagai pihak yaitu dari pemerintah, masyarakat maupun sekolah sebagai pelaksana operasonal. Pemerintah berperan untuk mendesain sistem PLB yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan mendapatkan peluang kerja. Masyarakat berperan untuk memperlakukan peserta didik yang memiliki kelainan seperti halnya siswa-siswa lain yang normal. Sekolah berperan untuk melaksanakan pendidikan secara terintegrasi antara anak normal dan anak yang menderita kelainan.


http://www.sman2mks.com/index.php?option=com_content&task=view&id=576&Itemid=86

Tiga Peserta Tunadaksa Maju ke Babak Judging Indonesian Idol II



Jakarta, KCM


Kirim Teman | Print Artikel

Tiga kontestan disable (cacat) berhasil lolos ke Jakarta untuk mengikuti babak judging (penilaian) Indonesian Idol II. Mereka adalah peserta dari Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya.

Tiga peserta tersebut berhasil menyisihkan ribuan peserta lainnya di daerahnya. Kini mereka termasuk 106 peserta lainnya dari empat daerah yang berhasil lolos untuk mengikuti proses penilaian yang akan dilangsungkan di Jakarta.

Arif Budiman, Public Relation and promotion dari Fremantle Media (pemegang lisensi Indonesian Idol), mengatakan kepada pers, Senin (14/3) di Gedung EXPO Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Indonesian Idol tidak hanya menilai penampilan saja, tetapi juga kualitas suara yang dimiliki para kontestan.

Sementara, saat ini sebanyak 16.931 peserta telah mendaftar untuk audisi Indonesian Idol II wilayah Jakarta. Mereka dibagi dalam empat kelompok untuk mengikuti proses audisi pre-casting yang dimulai hari ini, Senin (14/3) dan akan berakhir pada Kamis (17/3). Untuk kemudian akan memasuki proses judging (penilaian) yang akan dilangsungkan pada Jumat (18/3) dan Sabtu (19/3).

Mereka yang berhasil pada proses precasting, akan dinilai (judging) oleh dewan juri yang terdiri dari Indra Lesmana, Titi DJ, Meuthia Kasim, dan Yovie Widianto.

Empat juri inilah yang akan menentukan siapa saja peserta dari Jakartta yang berhak mendapat tiket dan akan bergabung bersama 106 kontestan dari empat kota lainnya yang sudah menyelesaikan tahap precasting.

Di antara peserta yang lolos babak precasting, Bandung meloloskan paling banyak kontestannya dengan jumlah 35 orang. Disusul Yogyakarta (26 peserta), Makassar (25), dan Surabaya (20).

"Jakarta tentunya akan paling banyak, mengingat jumlah peserta yang mendaftar sangat membludak. Berdasarkan daftar yang dihimpun, total pendaftar Indonesian Idol II mencapai angka 37.392 peserta," kata Arif.

Dari jumlah peserta yang mendaftar, jumlah peserta dari Surabaya menduduki ranking kedua dengan jumlah 7084 pendaftar, Bandung (6129), Yogyakarta (4734), Makassar (2514).

Sementara itu, Susan Trinidad dari Fremantle mengungkap bahwa pihaknya telah menyediakan tiga pengacara kondang untuk mendampingi
peserta yang masuk ke 30 besar.

"Ada tiga pengacara yang kita sediakan untuk mendampingi para peserta yang nantinya akan melaksanakan kontrak dan hal lain yang berhubungan dengan proses rekaman atau kegiatan mereka lainnya. Para peserta inilah yang menentukan sendiri pengacara yang mereka pilih untuk jadi pendamping," ujar Susan. (eh/jy)

http://www2.kompas.com/gayahidup/news/0503/14/162644.htm

Reformasi Kebijakan Pendidikan Luar Biasa

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Drs. Nurkolis, MM
Saya Masyarakat di Jakarta
Tanggal: 01/05/2002
Judul Artikel: Reformasi Kebijakan Pendidikan Luar Biasa
Topik: Reformasi Pendidikan

Artikel:
REFORMASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
Oleh : Drs. Nurkolis, MM

1. Pendahuluan
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam ranka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. Seperti tertuang pada pasal 8 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB).

Namun dalam kenyataan prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat sedikit. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat kita yang mengabaikan potensi anak cacat. Pada umumnya masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu. Telah banyak bukti bahwa orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Pada hakikatnya kecacatan seseorang bukanlah merupakan penghalang untuk melakukan sesuatu. Banyak orang yang tidak memiliki tangan namun bisa menghasilkan lukisan dengan baik, ada orang yang tidak bisa berjalan namun menjadi ahli fisika ternama seperti Stephen Hopkins. Ada orang yang tidak bisa bicara dengan baik namun berhasil menjadi model seperti Katrin.

2. Pengertian Reformasi
Apakah reformasi itu? Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.

Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.

3. Reformasi Kebijakan Pendidikan
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang penidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu terprogram dan sistemik. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan. Yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan. Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi pendidikan. Sementara itu reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyankut struktur kekuasaan yang ada.

Reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah manajemen lokal (on-site management), pemberdayaan guru, perhatian pada daerah setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.

Sementara itu kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Kebijakan adalah keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan.

Dengan demikian reformasi kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.

4. Pendidikan Luar Biasa
PLB adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental, perilaku atau gabungan diantaranya. PLB bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental atau keduanya agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

Selanjutnya dijelaskan tentang tujuan PLB secara dirinci yaitu: (1) mengembangkan kehidupan anak didik dan siswa sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan, membiasakan berperilaku yang baik, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, memelihara kesehatan jasmani dan rohani, memberikan kemampuan untuk belajar dan mengembangkan kepribadian yang mantap dan mandiri, (2) mengembangkan kehidupan anak didik dan siswa sebagai anggota masyarakat yang sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat, menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (3) mempersiapkan siswa untuk dapat memiliki keterampilan sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja dan (4) mempersiapkan anak didik dan siswa untuk mengikuti pendidikan lanjutan dalam menguasai isi kurikulum yang disyaratkan.

Jenis kelainan peserta didik berdasarkan PP RI No. 27 tahun 1991 tentang PLB disebutkan yaitu terdiri atas kelainan fisik yang meliputi tuna netra, tuna rungu, tuna daksa. Kelainan mental yang meliputi tuna grahita ringan, tuna grahita sedang, kelainan perilaku yaitu tuna laras atau gabungan diataranya. Mereka yang menderika kelainan tersebut dididik dalam satuan pendidikan yang berbentuk TK Luar Biasa, SD Luar Biasa, SLTP Luar Biasa, SM Luar Biasa atau bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan.

Dalam penjelasan PP tersebut di atas juga dirinci maksud dari berbagai tuna tersebut. Tuna netra adalah kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat atau buta. Tuna rungu adalah kerusakan atau cacat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tak dapat mendengar atau tuli atau pekak. Tuna daksa adalah cacat tubuh. Tuna grahita adalah keterbatasan mental dan termasuk di sini adalah keterbelakangan mental ringan dan keterbalekangan mental sedang. Tuna laras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Isi kurikulum PLB sedapat mungkin disesuaikan dengan isi kurikulum sekolah pada umumnya dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum PLB dapat dilihat pada lampiran 1.

Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa diatur penyelenggaraan PLB yaitu dapat diselenggarakan melalui pendidikan terpadu, kelas khusus, guru kunjungan dan atau bentuk pelayanan pendidikan lainnya. Pendidikan terpadu merupakan pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di jalur pendidikan sekolah. Kelas khusus merupakan kelompok belajar pada SD, SLTP dan Sekolah Menengah bagi siswa berkelainan dalam rangka memperoleh pelayanan pendidikan khusus hingga tamat. Guru kunjungan merupakan guru pada TKLB, SDLB, SLTPLB dan SMLB yang diberi tugas mengajar pada kelompok belajar bagi anak berkelainan yang tidak dapat terjangkau oleh satuan PLB dalam rangka wajib belajar.

5. Kondisi Terkini PLB di Indonesia
Dalam rangka melaksanakan kebijakan program PLB sesuai Keputusan Mendiknas No. 010/O/2000 tentang Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah yang salah satunya menyatakan terbentuknya Direktorat PLB mempunyai rumusan visi dan misi sebagai berikut:

Visi:
Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak yang berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Misi:
a. Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh PLB sesuai dengan potensi dan kemampuan dasar yang dimiliki baik melalui pendidikan secara segregasi maupun terpadu/inklusi.
b. Meningkatkan mutu dan relevansi PLB baik pengetahuan pengalaman, atau ketrampilan, sehingga para peserta didik memiliki bekal keimanan, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam memasuki kehidupan dalam masyarakat.
c. Meningkatakan manajemen dan kapasitas pengelola dan pembina, serta guru, dan tenaga kependidikan lainnya pada PLB sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal dan profesional terhadap peserta didik dan masyarakat.
d. Memperluas jejaring (networking) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan PLB.

Tujuan :
a. Mensukseskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun bagi anak berkebutuhan khusus dengan meningkatkan program perluasan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus yang berpedoman pada azaz pemerataan.
b. Mewujudkan iklim masyarakat belajar bagi kalangan orang tua, anak, maupun masyarakat.
c. Meningktakan kepedulian dan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
d. Meningkatkan usaha penignkatan mutu PLB melalui pengadaan sarana prasarana, peningkatan kualitas guru, penigngkatan pembinaan PLB sesuai dengan kurikulum yang berlaku, penanaman wawasan imtaq dan iptek serta penataan kelembagaan.

Sasaran:
a. Tertampungnya anak berkebutuhan khusus usia sekolah pada lembaga pendidikan luar biasa dan pendidikan umum yang ada.
b. Tersedianya sarana prasaran, sumber dan bahan belajar serta tenaga kependidkna luar biasa yang bermutu dan cukup jumlah (memadai).
c. Tersedianya beasiswa bagi anak berkebutuhan khusus yang berprestasi dan kurang mampu dalam rangka mensukseskan wajib belajar.
d. Terwujudnya peranserta dan kerjasama antara sekolah dan masyarakat, dunia usaha, maupun dunia industri.
e. Terciptanya iklim belajar yang mendukung terwujudnya masyarakat belajar dalam rangka pemerataan kesempatan belajar khususnya bagi anak berkebutuhan khusus.

Program penyelenggaraan PLB yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh Direktorat PLB antara lain:
1. Upaya Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
Perluasan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus usia sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat menengah melalui pengembangan pendidikan terpadu dan pengadaan tenaga khusus pengelola pendidikan luar biasa.
2. Peningkatan Mutu PLB Upaya peningkatan mutu PLB melalui :
a. Peningkatan mutu dan kualifikasi guru sekolah luar biasa melalui pelatihan dan penyetaraan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, serta usaha peningkatan pendidikan akademik baik di dalam maupun di luar negeri.
b. Penyediaan buku-buku teks baik dalam tulisan huruf awas maupun braille yang mengacu pada kurikulum PLB, penyediaan sarana dan prasarana PLB, dan pelaksanaan EBTA SLB Khusus secara nasional.
c. Pembinaan dan pengembangan center percetakan Braille dengan tujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana belajar yang lebih lengkap, tepat waktu, dan berkualitas baik.
3. Pengembangan Pendidikan Inklusi.
Pendidkan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Upaya pendidikan inklusi harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
4. Pengembangan Pendidikan untuk Anak Autisme Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi/simbolik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi anak autisme memerlukan cara atau metode khusus sehingga mereka mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka Direktorat PLB perlu memfasilitasi agar anak-anak autisme mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.

5. Resource Center.
Resource Center dalam implementasinya adalah SLB-A Negeri dan Swasta yang ditunjuk untuk menjadi pusat pencetakan buku pelajaran maupun buku-buku referensi bagi siswa dan kaum tuna netra di masyarakat dalam huruf Braille. Tujuannya adalah agar kaum tuna netra dapat menguasai ilmu pengetahuan dan dunia lewat bacaan perabaan timbul yang dihasilkan oleh mesin Braille dari Norwegia.

6. Pusat Pelayanan Pendidikan bagi Siswa Penderita Narkoba
Model layanan pendidkan harus berpijak pada misi utama : pertama, model layanan pendidikan harus mengejawantah sebagai wujud pemenuhan hak belajar siswa penderita. Kedua, model layanan pendidikan harus mampu mengembalikan atau memulihkan prakondisi psiklogis siswa penderita untuk tetap belajar sebagai upaya meningkatkan kembali self-esteem-nya yang sempat terganggu karena pengaruh narkoba.Bahkan bukan tidak mungkin bahwa proses pembelajaran sekaligus dapat merupakan terapi non-medis bagi upaya pemulihan kondisi psikis siswa penderita.

7. Sheltered Workshop
Guna memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja dan membudayakan hidup berwirausaha maka konsep lifi skills education di sekolah merupakan wacana baru dalam pengembangan program pendidikan dan sejak lama menjadi perhatian para pakar kurikulum. Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja.

8. Pendidikan Keterampilan bagi Lulusan SLTPLB dan SMLB
Pendidikan keterampilan bagi para lulusan SLTPLB dan SMLB yang diberikan , sesuai dengan kemampuan fisik dan minat anak yang mengacu pada kurikulum PLB tahun 1994. Keterampilan ini diberikan sebagai bekal mereka untuk hidup mandiri di masyarakat. Pelaksanaanya dilakukan disuatu center yang dilengkapi dengan fasilitas asrama, praktik penjualan produk dalam bentuk koperasi, dan sarana lain yang mencakup dunia usaha/industri. Jenis keterampialn yang diajarkan antara lain mesin otomotif, jahit menjahit, pertukangan, dan menganyam. Proses pendidikan keterampilan bagi lulusan SLTPLB/SMLB direncanakan akan dilakukan di suatu tempat penampungan atau home base atau bengkel kerja dengan kriteria sbb :

a. Proses pendidikan dan latihan :
1) Peserta adalah lulusan SLTPLB atau SMLB
2) Lama DikLat 6 bulan
3) Keterampilan yang diikuti sesuai minat dan bakat
4) Pelaksanaan DikLat 40 % teori 60 % praktik
5) Instruktur dari guru keterampilan dan dari dunia usaha/industri
6) Peralatan dan bahan praktik menggunakan bahan lokal yang mudah didapat di sekitar atau dapat juga memanfaatkan limbah.
b. Proses kerjasama dengan dunia usaha/industri :
1) Dunia usaha dan dunia industri diharapkan membantu mrnyediakan bahan peralatan dan instruktur
2) Peserta diklat dapat bekerja secara magang selama 6 bulan sesuai dengan bidang keterampilannya
3) Setelah selesai mengikuti diklat, peserta memperolah sertifikat dan dapat dipertimbangkan untuk bekerja di dunia usaha sesuai dengan bidang keterampilannya.

9. Program Percepatan Belajar (akselerasi)
Program percepatan belajar merupakan salah satu model pelayanan pendidikan bagi peserta didik yanng memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (Gifted dan Talented ) . Penggunaan istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa ini berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan , kecerdasan berhubungan dengan perkembangan intelektual, sedang kemampuan luar biasa tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual , namun juga beberapa jenis kemampuan lainnya misalnya linguistik, musikal,, spasial, logikal-matematikal, kinestetik, intrapersonal, dan interpersonal.

10. Pemberian Beasiswa
Direktorat PLB memberikan bantuan beasiswa kepada siswa SLB/SDLB dengan tujuan:

a. meringankan beban orang tua siswa
b. memberi motivasi kepada siswa untuk lebih giat belajar
c. memberi motivasi kepada orangtua untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya
d. mendorong sekolah untuk lebih memberikan pelayanan pendidikan.

Berdasarkan statistik persekolahan PLB 1999/2000 menunjukkan bahwa hanya sebanyak 37.460 anak cacat saja yang telah mendapat pelayanan pendidikan negeri dan swasta. Sementara itu anak-anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara khusus. Jumlah itu menyebar pada TKPLB 7.009 siswa SDPLB 23.669 siswa, SLTPPLB 5.157 siswa, SMPLB 1.625 siswa. Semuanya tertampung di dalam 868 sekolah dengan rincian PLB Negeri sebanyak 36 sekolah atau 4,15 % yang menampung sebanyak 3.081 siswa atau 8,22 % dan PLB swasta sebanyak 832 sekolah atau 95,85 % yang menampung 34.379 siswa atau 91,78 %. Penyebaran ini dapat dilihat pada grafik di lampiran 2.

6. Reformasi Kebijakan PLB
Menurut PBB bahwa di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekiar 500 juta orang cacat. Dari total itu sekitar 80 % hidup di negara-negara berkembang. Prefalensi orang yang menderita cacat atau kelainan sekitar 2.3 % dari total populasi, sedangkan angka prefalensi anak berbakat sekitar 2 %. Artinya setiap 1.000 orang terdapat 23 orang yang menderita cacat, dan setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat. Berkaitan dengan penderita cacat ini bila penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249 maka penderita cacat atau kelainan adalah sekitar 1.759.000 orang dan terdapat anak berbakat sebanyak 1.529.565 siswa.

Bila kita cermati pelaksanan PLB maka tampak adanya tiga kekurangan utama dalam penyelengaraan PLB. Pertama, prosentase penderita cacat yang mendapatkan layanan pendidikan kecil sekali yaitu 0,2 % pada tahun 2000 seperti terlihat pada grafik terlampir. Sementara itu anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara serius walau sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan layanan khusus. Kedua, perhatian pemerintah pada penderita cacat masih amat rendah yang hanya menyediakan 4 % dari total sekolah dan menampung 8 % dari penderita cacat yang bersekolah. Ketiga, layanan PLB mayoritas terdapat di lima kota besar di Jawa yang berarti penderita cacat di kota-kota kecil dan terpencil masih banyak terabaikan.

Kondisi ini tidak bisa kita biarkan terus berlanjut bila tidak ingin muncul ancaman baru berupa krisis sumber daya manusia. Meminjam istilah PBB disebut krisis tak tampak (silent crisis) yang tidak hanya berpengaruh terhadap para penyandang cacat dan keluarganya saja tetapi juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial pada masyarakat luas. Perlu diingat kembali bahwa manusia adalah sebagai salah satu faktor produksi yang amat penting dalam sistem ekonomi. Untuk itulah perlu adanya perhatian yang serius terhadap orang-orang cacat dan berbakat tersebut melalui pendidikan luar biasa.

Untuk melaksanakan reformasi PLB perlu diketahui pula isu-isu dalam penyelenggaraan PLB yang berkembang saat ini adalah sebagai berikut ini:

1. Normalisasi (normalization) yaitu membuat lingkungan pendidikan dan lingkungan kehidupan sehari-hari siswa yang menderita kelainan senormal mungkin sebagaimana orang normal.
2. Intergrasi (integration) yaitu pendidikan luar bisa dan pendidikan pada umumnya terintegrasi secara bersama-sama sehingga siswa yang memiliki kelainan tidak dipisahkan dari mereka yang normal.
3. Keanekaragaman budaya (cultural diversity) yaitu memahami dan menghargai perbedaan budaya serta perbedaan di dalam kelas sehingga terjadi kerjasama diantara mereka yang memiliki perbedaan budaya.
4. Adanya campur-tangan sejak dini (early intervention) yaitu perlu adanya indentivikasi kelainan sejak dini pada kehidupan siswa dan menyediakan program pendidikan yang efektif. Perlu pula adanya penyediaan jasa-jasa pelayanan kepada siswa yang memiliki kelainan yang dirancang untuk memaksimalkan potensi anak dan meminimalkan ketidakmampuannya.
5. Transisi (transition) yaitu mempersiapkan siswa yang menderita kelainan untuk memasuki dunia kerja dan kehidupan orang dewasa. Termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan meniti karir. Dengan demikian mereka bisa meraih prestasi maksimal baik dalam kemandirian maupun produktivitas. Selain itu perlu juga dikemukakan pernyataan misi dan aksi Unesco dalam menangani anak-anak cacat. Dinyatakan secara ekplisit pada kerangka kerja pendidikan inklusif yang diambil dari konferensi Salamanca tahun 1994.
1. Sekolah-sekolah harus mengakomodasikan semua siswa tanpa melihat kondisi pisik, intelektual, emosi, sosial dan bahasanya.
2. Sekolah-sekolah reguler yang memiliki orientasi pendidikan inklusif adalah alat yang paling efektif untuk memberantas diskriminasi sikap, membentuk masyarakat terbuka, membangun masyarakat dan mencapai pendidikan untuk semua (education for all).
3. Untuk menghilangkan marjinalisasi terhadap orang-orang cacat maka sistem pendidikan harus fleksibel, inklusif dan sekolah harus aktif mencari siswa-siswa yang tidak mendaftarkan ke sekolah. Sekolah juga harus merespon secara fleksibel kondisi dan kebutuhan selusuh siswanya.

Dari berbagai fakta dan isu yang berkembang pada pendidikan PLB tersebut di atas harus dijadikan dasar aksi reformasi kebijakan PLB di Indonesia. Maka reformasi kebijakan PLB di Indonesia dapat ditempuh melalui upaya berikut ini:

a. Landasan utama reformasi PLB adalah pengakuan atau penghormatan hak asasi manusia yang tak lain adalah merupakan kebebasan mendasar dan persamaan hidup. Maka mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan dan hidup secara layak. Orang-orang cacat harus dibebaskan dari hambatan fisik dan hambatan sosial yang selama ini menghalanginya. Masyarakat harus menghilangkan tindakan diskriminatif, meningkatkan kepedulian terhadap orang-orang cacat dan memberikan akses kepada mereka untuk hidup secara layak.
b. Sebagai realisasi atau perwujudan pengakuan atau penghormatan HAM adalah terbukanya akses pernderita cacat baik secara internal maupun eksternal:

1. Akses internal untuk memberikan pendidikan yang layak kepada penderita cacat sehingga memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mamadai. Oleh karena itu PLB tidak boleh teralienasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu PLB harus menekankan pada upaya pemupukan kepercayaan diri siswa sehingga mampu bertindak secara layak untuk menjalani hidup dan bekerja secara wajar.
2. Akses eksternal dengan memberikan peluang seluas-luasnya dalam mendapatkan kesempatan kerja, berkiprah dalam bidang politik dan pemerintahan, berprestasi dalam bidang sosial, seni dan budaya, olah raga dan lain sebagainya. Selain itu akses ke masyarakat juga diwujudkan dalam perlakuan secara wajar dan tanpa diskriminasi kepada para penyandang cacat.
3. Perlu adanya identivikasi sejak dini dari orang tua dan keluarga akan kebutuhan masing-masing siswa yang memiliki kelainan. Dengan demikian mereka bisa diarahkan secara tepat untuk masuk pendidikan jenis apa dan memerlukan keterampilan jenis tertentu sehingga bermanfaat dalam hidupnya. Selain itu perlu adanya kerjasama yang lebih erat antara guru PLB dengan orang tua atau pengasuhnya serta para ahli untuk dapat memaksimalkan potensi yang ada pada siswa-siswa PLB. Orang tua dan pengasuhnya harus mengikuti perkembangan anaknya baik yang menyangkut kesulitan yang dialaminnya maupun kemajuan yang telah diperolehnya.
4. Pemerintah harus lebih memperhatikan penyandang cacat secara lebih serius dengan tidak hanya mengeluarkan undang-undang, peraturan pemerintah ataupun keputusan menteri tetapi yang lebih penting adalah inforsment-nya. Oleh karena itu harus diwujudkan dalam penyediaan anggaran dan pengalokasian dana yang proporsional kepada penderita cacat. Sehingga reformasi kebijakan PLB tampak pada gambar di bawah ini.

7. Kesimpulan
Pendidikan luar biasa hendaknya menjadi satu kesatuan dengan pendidikan normal lainnya, sehingga tidak akan terjadi isolasi pada mereka yang mendetika kelainan. Untuk itu upaya reformasi pendidikan luar baisa adalah amat mendesak agar sumber daya manusia bisa berfungsi secara maksimal. Jelas sekali bahwa upaya reformasi pendidikan lar biasa perlu adanya dukungan berbagai pihak yaitu dari pemerintah, masyarakat maupun sekolah sebagai pelaksana operasonal. Pemerintah berperan untuk mendesain sistem PLB yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan mendapatkan peluang kerja. Masyarakat berperan untuk memperlakukan peserta didik yang memiliki kelainan seperti halnya siswa-siswa lain yang normal. Sekolah berperan untuk melaksanakan pendidikan secara terintegrasi antara anak normal dan anak yang menderita kelainan.

http://re-searchengines.com/nurkolis2.html