Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, Maret 17, 2009

Sarana Baru Pembelajaran di Sekolah



Kamis,24 Des 2003
Kompas
MEMBACA rubrik Kolom 8@9 di harian ini tanggal 15 Desember 2003, sebagai praktisi pendidikan yang terjun langsung di lapangan hati ini terasa trenyuh dan sedih. Memang seperti itulah kondisi riil di lapangan. Apalagi sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah pinggiran, dalam artian geografis maupun kualitas.

Tetapi justru keterbatasan tersebut yang mendorong komponen sekolah untuk selalu berusaha mengatasi segala permasalahan yang muncul meskipun jujur diakui kadang kala keterbatasan tersebut menyebabkan semangat melemah.

Di tengah-tengah keterbatasan tersebut, menyeruak sedikit harapan dalam upaya pengenalan teknologi informasi (TI) dalam proses pembelajaran siswa. Dengan sedikit kreativitas, guru dapat mengoptimalkan fungsi fitur telepon seluler (ponsel) yang disediakan oleh para produsen ponsel dan operator GSM di Indonesia.

Perkembangan teknologi informasi menyebabkan gaya hidup manusia sangat berubah. Ponsel bukan lagi menjadi sebuah simbol status seperti dulu. Survei Siemens Mobile Lifestyle III memberikan hasil yang mencengangkan. Menurut survei tersebut, 60 persen remaja usia 15-19 tahun lebih suka membaca SMS (short messaging service) daripada membaca buku (Kompas, 4 April 2003).

Realitas seperti itu tentu saja harus disikapi secara bijaksana. Tidak perlu risau dengan kondisi seperti itu. Dibutuhkan kelihaian penyelenggara pendidikan untuk justru memanfaatkan realitas tersebut sebagai cara baru dalam proses pembelajaran. Guru, sebagai salah satu komponen pembelajaran, diharapkan mampu menjadi motivator dan dinamisator pada sebuah kelas.

Guru tidak harus menjadi orang paling tahu dan paling benar dalam sebuah kelas seperti selama ini terjadi. Bobbi de Porter dan kawan-kawan (2002: 7) mengibaratkan kelas sebagai sebuah orkestra dan guru adalah konduktor yang membawa peserta didik naik-turun mengikuti irama yang dimainkannya. Keberhasilan proses pembelajaran, masih menurut mereka, sangat dipengaruhi kemampuan guru memasuki dunia siswa dan mengantarkan para siswa memasuki dunia baru yang ingin diajarkan guru, seperti konsep, proses, dan fenomena-fenomena baru.

Aktivitas SMS

Sekitar dua tahun lalu, beberapa sekolah menengah umum (SMU) di daerah harus merevisi tata tertib siswa yang sudah berlaku bertahun-tahun dengan menambahkan item larangan mengaktifkan ponsel di dalam kelas. Penyebabnya adalah dalam tas sekolah mereka tersimpan ponsel yang dibawa dengan tujuan beragam, baik yang bersifat hura-hura (just fun) sampai yang serius.

Jika di daerah saja sudah diberlakukan seperti itu, asumsinya di kota-kota besar kecenderungan penggunaan ponsel jauh lebih awal dan jumlahnya lebih besar. Street polling yang dilakukan Tim MUDA Kompas terhadap 100 remaja SMU di empat kota besar di Indonesia memperkuat hal itu.

Meski menurut mereka data tersebut diakui tidak dapat dipakai sebagai rujukan untuk penelitian atau sejenisnya (Kompas, 4 April 2003:37), dapat digunakan sebagai gambaran kasar betapa lekatnya ponsel dalam kehidupan remaja. Dalam hal frekuensi mengirim SMS, 35 persen melakukan antara 5-10 kali, 51 persen melakukan antara 11-20 kali, dan 14 persen dari mereka melakukan aktivitas pengiriman SMS lebih dari 20 kali sehari.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah temuan Siemens Lifestyle Survey di enam negara Asia Tenggara pada remaja usia 15-19 tahun dan pasca-remaja pada golongan usia 20-29 tahun. Di Indonesia 79 persen penduduk sangat merasa kehilangan ketika ponsel mereka tidak ada di sekitarnya, 40 persen orang Indonesia jantungnya berdebar lebih cepat ketika mendengar dering SMS, dan yang lebih menarik lagi 58 persen orang Indonesia lebih suka mengirim dan membaca SMS daripada membaca buku (Kompas, 17 April 2003:49).

Peluang baru

Menurut teori belajar humanisme, anak didik ditempatkan sebagai manusia bebas yang mampu mengarahkan dirinya secara bebas. Berdasarkan pandangan tersebut, Carl R Rogers mengembangkan bentuk belajar bebas yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk menentukan sendiri tujuan dan mengambil tanggung jawab pribadi yang positif bagi masa depannya (Nasution, 1995: 84).

Implikasinya, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal dalam proses pembelajarannya, dengan cara memberikan kesempatan mengkaji sumber-sumber belajar yang ada di lingkungannya, memperkenalkan penggunaan metode pembelajaran yang baru, penggunaan media pendidikan yang up to date, pemanfaatan lingkungan sekitar, kunjungan ke suatu obyek, dan sebagainya. Guru dituntut menciptakan suasana yang penuh tantangan, kompetitif, dinamis, dan terbuka.

Kenyataan, 60 persen remaja Indonesia lebih suka berkirim SMS daripada membaca buku tidak boleh dan tidak sepantasnya dipandang sebagai sebuah ancaman atau bahaya. Dengan penyikapan yang benar, sebenarnya sebuah peluang baru dalam proses pembelajaran siswa terbuka.

Paling tidak, guru memberi peluang kepada para siswa untuk saling say hello atau memberikan tugas melalui SMS. Keakraban yang terbentuk antara guru dan murid merupakan modal kuat untuk kesuksesan proses pembelajaran selanjutnya.

Hubungan inilah yang akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa, membuka jalan memasuki dunia baru mereka, mengetahui minat mereka, dan berbicara dengan bahasa hati mereka. Dengan asumsi semakin lama teknologi semakin murah, maka ber-SMS dalam proses pembelajaran menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih funky.

Kelas dinamis

Selama ini ruangan-ruangan kelas yang diam atau tenang, seragam, datar, tidak penuh gejolak, arus komunikasi searah dari guru ke siswa, dan tidak dinamis merupakan pemandangan yang teramat biasa dan bahkan diidamkan. Padahal, menurut model pembelajaran Quantum, hakikat belajar adalah suatu proses yang seharusnya dipenuhi dengan ketakjuban, penemuan, permainan, keterlibatan, penuh keingintahuan, dan tentu saja kegembiraan (Bobbi de Porter dkk, 2002: 27).

Karena itu, guru sebagai konduktor harus mampu menciptakan suasana yang fun. Caranya dengan mengoptimalkan fitur-fitur yang disediakan vendor ponsel dan operator GSM. Dengan fitur MMS (multimedia messaging service), siswa diminta mengirimkan foto-foto kegiatan praktik lapangan ke ponsel guru atau adu cepat menemukan obyek di suatu tempat dengan cara mengirim foto obyek dimaksud dengan komentar secara lisan maupun tertulis.

Fasilitas WAP (Wireless Access Protocol) memungkinkan para siswa surfing di Internet dari dalam kelas. Dengan demikian, guru tidak perlu lagi membawa peta, gambar hewan, atau tumbuhan, penampang lintang jaringan epitel, foto meander, dan sebagainya. Tinggal klik saja situs web (web site) tertentu yang diinginkan, maka berbagai kebutuhan proses pembelajaran siswa dapat berlangsung dengan sangat menyenangkan.

Prinsipnya, fitur-fitur yang mendukung suasana kelas menjadi menggairahkan dapat digunakan dalam proses pembelajaran siswa, termasuk music phone berformat MP3. Dengan menghubungkan ponsel dengan penguat suara, musik di dalam kelas dapat diatur sesuai dengan keinginan kelas , baik volume maupun pilihan musiknya.

Dukungan operator ponsel

Sayangnya, sampai sekarang optimalisasi fungsi fitur ponsel belum semuanya dapat terpenuhi. Lagi-lagi, penyebabnya adalah keterbatasan dana. Mahalnya harga ponsel dan biaya operasional serta keterbatasan jaringan merupakan kendala yang tidak mudah untuk dipecahkan.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan produksi massal ponsel dengan fitur tertentu yang sangat dibutuhkan siswa, seperti MMS atau WAP, untuk kemudian dijual dengan harga lebih rendah daripada harga pasar. Produsen ponsel dapat bekerja sama dengan operator GSM. Kinerja ponsel dibuat berbeda dengan ponsel untuk pasar umum, misalnya dengan mencantumkan logo operator GSM pada casing-nya.

Selain itu, perlu juga dipertimbangkan adanya kerja sama antaroperator GSM dalam layanan MMS. Tanpa adanya trafik MMS di antara mereka MMS akan menjadi fitur kerdil yang tidak banyak berarti dalam dunia pendidikan.

Yang perlu segera direalisasikan adalah penurunan tarif layanan fitur-fitur yang disediakan sehingga tidak memberatkan siswa dan guru dalam proses pembelajarannya. Bagi para guru yang memanfaatkan fitur ponsel dalam proses pembelajaran, setiap awal tahun pelajaran mengajukan proposal kebutuhan biaya ponsel untuk dimasukkan dalam rancangan anggaran belanja sekolah.

Jika MMS atau WAP belum memungkinkan, sementara SMS pun cukup. Paling tidak dengan memanfaatkan fitur SMS yang murah dan menjadi favorit remaja Indonesia, guru mampu membangun sebuah komunikasi yang sangat baik dengan para muridnya dan membiasakan siswa menggunakan teknologi informasi sehingga tidak akan ada lagi yang bilang, "Cian deh loe…, nggak ngerti TI!"

Zulkarnaen Syri L Staf Pengahar SMUN 1 Jatinom-Klaten, Jawa Tengah

http://www.x-phones.com/www/as_detail.php?id=348

0 komentar: