Assalamu'alaikum Wr.Wb. Selamat Datang di Ruang Karya MAnusia Biasa..Terima Kasih Atas Kunjungan Anda..Semoga Bermanfaat!!!
CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, Maret 31, 2009

KISAH GADIS PISCES YANG MOODY AND FRIENDLY

About me

Ketika harus menggambarkan siapa diriku, aku akan terpikir pada sebuah analogi kecil.Ketika lahir anak seperti kertas putih yang tak bernoda sedikitpun dan seperti apa dia kelak adalah hasil dari riwayat kehidupan yang telah dilewatinya. Lalu apa yang terjadi pada kertas putih bernama Rachmawati Nurerlinda ini? \seperti apa dia yang sekarang?

Pertanyaan ini masih akan terus berubah - ubah jawabannya. Karena aku yang sekarang belum tentu aku dimasa depan. Jujur si sensitif yang ceewet inimemang terlahir menjadi anak pertama dikeluargannya. \tapi sepertinya dia belum bisa jadi kakak yang dewasa karena manjanya yang suka berlebihan. Gadis kelahiran, Jakarta, 17 Maret 1989 yang hobi banget berenang ini dari dulu dah dikasih sebuah anugrah terbesar yang membedakannya dengan orang - orang kebanyakan, si \kidal begitu teman - temannya biasa memanggilnya. Awalnya dia risih dan terganggu tapi sudahlah itu kenyataannya bukan.

Berceita mengenai kisahnya tentu tidak akan cukup dengan toresan tinta saja, gadis yang suka banget martabak bangka dan coklat ini selalu menyukai hal - hal kecil yang kdang menurut orang ga penting banget. Pembawaannya yang cerewet menyebabkannya selalu dijadikan bendahara di kelasnya ( lumayan, untuk nagihin uang kas kelas ). Tapi sejak TK sampai sekarang anak ini memang tak kenal lelah berteman. Kebanyakan teman - temannya bilang klo dia tempat curhat yang asik, meskipun orangnya suka ga jelas and moodyan.

Tapi gadis manis ini selalu care ma teman - temannya. Dari dulu dia suka banget ma anak kecil, bahkan cita - citanya pengen banget bangun sekolahan. Tapi sayangnya sikapnya yang moody and angot - angotan suka mempengaruhi mood belajarnya, ga heran meskipun rajin di akademik tapi nilainya masih suka naik turun. he,,,he,,,

Pokoknya kalo ngegambarin dia orang kaya apa, mesti kenal ke12 temen deketnya tuh,, alna mereka yang paling tahu tentang dia. Mulai dari cra makan, tidur, kebiasaannya gigit kuku, ampe cara nangis and ketawa yang paling aneh mereka pasti tau. '

Pokoknya gadis pisces ni mah misterius tapi cerewet and bawel banget. \salah sati kebiasaan jelekny itu kalo lagi bT and stressdia suka sms ga jelas ketemen - temennya..dasar orang yang aneh.

Tapi di balik semua kebiasaan dan hobinya yang beragam itu sebenarnya dia seorang anak yng baik lho. Dia sosok gadis enerjik yang pantang nyerah. Semua cita - cita dan harapannya hidup di dunia ini cuma ditujukan wat orang tua tercintanya ( my lovely family). Kekerasannya dalam bersikap and judesnya dia udah jadi bumbu dalam kehidupan orang - orang terdekatnya. Mungkin orang - orang akan aneh liat sikapnya yang suka berubah - ubah dn ga jelas tapi kalo udah kenal sama dia pasti mereka akan sadar seberapa dia akan menyayangi dan menjaga orang - orang tersayangnya. Dibalik semua cashing sikap dan pembawaannya ia seorang gadis lembut yang penyayang.

Rabu, Maret 18, 2009

laporan observasi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan laporan observasi ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan laporan observasi ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Evaluasi Pengajaran dan menambah pengetahuan untuk cakrawala berfikir terkait fenomena UASBN sebagai system penilaian pendidikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu diantaranya :
1. Bapak Amril Muhammad selaku dosen mata kuliah Evaluasi Pengajaran.
2. Seluruh pihak yang turut membantu
Penulis sangat menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan laporan observasi ini. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk penulis dan masyarakat pembaca.

Jakarta, 18 Maret 2009



Rachmawati Nurerlinda






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… 1
DAFTAR ISI……………………………………..............…………… 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………… 3
1.2 Identifikasi Masalah …………………………………………… 6
1.3 Rumusan Masalah................................................................ 6
1.4 Tujuan Penulisan .................................................................. 6
1.5 Metodologi Penulisan............................................................ 7
1.6 Sistematika Penulisan............................................................ 7
BAB II TELAAH PUSTAKA........................................................ 8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Laporan Observasi di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang....... 11
3.1.1 Sekilas Tentang Sekolah.............................................. 11
3.1.2 Pelaksanaan Observasi ............................................... 11
3.1.2.1 Kronologis Pelaksanan Observasi....................... 12
3.1.3 Hasil Observasi ........................................................... 13
3.1.3.1 Pendapat Sekolah Mengenai UASBN................ 13
3.1.3.2 Persiapan UASBN di
SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang.......................... 13
3.1.3.3 Hambatan – hambatan........................................ 14
3.2 Pengalaman Penulis Menghadapi UAN.............................. 15

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan………....………………………………………… 17
4.2 Saran………....…………………………………………........... 18
DAFTAR PUSTAKA………………………………………........... 20
LAMPIRAN……………………………………….......................... 21



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian atau evaluasi yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Benarkah UAN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Pembahasan dimulai dari tujuan pendidikan, evaluasi, dan diakhiri dengan rekomendasi tentang perlu dan tidaknya evaluasi yang bersifat nasional. Evaluasi seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi? Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya? Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak? (McNeil, 1977:134-135).
Penyelenggaran UN yang diharapkan dapat meningkatkan mutu dan standar pendidikan Indonesia hingga saat ini masih dalam ‘merangkak’ bahkan dalam beberapa kasus mengalami kemunduran.
Sejak diberlakunya UU 23 tahun 2003, dan merujuk pada PP 19 tahun 2005, maka standar kelulusan (SKL) siswa pada UAN/UN dinaikkan secara bertahap, yakni
UAN 2003 : SKL >3.00
UAN 2004 : SKL >4.00
UAN 2005 : SKL >4.25
UAN 2006 : SKL >4.50
UAN 2007 : SKL >5.00
UN 2008 : SKL >5.25
UN 2009 : SKL >5.50
Meskipun standar kelulusan terus ditingkatkan, namun ternyata tingkat kelulusan juga tinggi. Lalu, dengan angka SKL dan kelulusan meningkat telah menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia telah meningkat? Dapatkah sistem Ujian Nasional menjadi prestasi pemerintah [terutama SBY] dalam meningkat kualitas pendidikan dengan mengeluarkan ratusan miliaran rupiah?
Yang pasti, siswa-siswi Indonesia akan merasa beban materi dan psikis terus bertambah. Dikala 2003-2006, jumlah mata pelajaran di uji 3 (Indonesia, Matematika, Inggris), saat ini telah ditambah lagi dengan materi-materi IPA atau IPS. Salah satu fenomena yang terjadi adalah siswa tertekan secara psikologis supaya lulus lalu ia bersemangat untuk belajar sungguh-sungguh untuk lulus.
Namun, karena sistem pendidikan di sekolah yang masih amburadul, maka fenomena yang terjadi sesungguhnya adalah secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik cenderung terbentuk watak ‘manusia instan’. Yang paling parah adalah banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, hanya ditentukan 3-6 hari Ujian.
Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN. Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua.
Dalam hal ini pendidikan kita masih belum mampu menentukan focus dari system pendidikan bangsa. Di pihak intern sekolah pemerintah mencanangkan bahwa siswa harus memiliki kompetensi yang mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotorik dan afektif. Siswa dan guru dituntut aktif dan kreatif untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Tapi sayangnya pemetaan UN yang menjadi kontrofersi ini lebih menekankan ranah kognitif saja sebagai dasar evaluasi pendidikan. Sehingga kedua ranah lain tidak memiliki peranan disini. Tentunya ini sangat bertentangan dengan prinsip awal pendidikan yang mencakup tiga ranah pencapaian kompetensi.
Fenomena yang di temukan
Dalam banyak kasus, siswa-siswi ‘memaksa’ orangtuanya agar mereka dimasukkan ke lembaga bimbingan belajar agar mereka lulus. Tidak tanggung-tanggung, orang tua harus rela mengeluarkan 1,5-3,0 juta untuk mendaftarkan anaknya ke bimbingan belajar. Hal ini tentu saja dimanfaatkan dengan baik oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Bayangkan saja, beberapa lembaga Bimbel ber-omzet hingga 200 miliar per tahun dengan merekrut 100.000 siswa SD, SMP, SMA per tahun. Promosi lembaga bimbel menjadi lebih ‘kincrong’ tatkala ditakuti dengan SKL.
Disisi lain, yakni pihak sekolahpun tidak jauh berbeda. Banyak sekolah yang membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [termasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi.
Fenomena kelulusan menjadi diskriminasi besar baik bagi sekolah maupun siswa antara kota dan desa. Sekolah-sekolah di kota cenderung memiliki fasilitas dan tenaga pendidik yang bagus-bagus. Hal ini berbeda dengan kondisi di daerah atau pedesaan. Tenaga pendidik yang terbatas dan ditambah fasilitas yang seadanya. Dengan logika sederhana:
Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik. Melihat fenomena ini apakah tepat UN dijadikan dasar evaluasi peilaian hasil belajar siswa. Rasanya ini masih memerlukan analisis panjang.
1.2 Identifikasi Masalah
 Fenomena UASBN sebagai bentuk dari evaluasi pendidikan?
 Sudah tepatkah sistem UASBN yang diterapkan dan perlukah diadakan ?
 Kendala – kendala apa saja yang dihadapi pihak sekolah dalam pelaksanaan UN ?
 Mengetahui apakah pelaksanaan UASBN efektif bagi evaluasi pendidikan/tidak ?
1.3 Rumusan Masalah
Laporan ini membatasi pembahasan mengenai fenomena UASBN, apakah tepat digunakan sebagai bahan evaluasi pendidikan dan sejauh apa dampak penerapan UASBN di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulisan laporan ini bertujuan untuk :
 Untuk mengetahui apakah UASBN mampu menjawab dan menilai kompetensi siswa secara efektif atau tidak.
 Dan sejauh apa sekolah mempersiapkan diri dalam mengahdapi UN tersebut.
 Mengetahui sejah apa peranan UASBN sebagai bentuk dari evaluasi pendidikan
1.5 Metodologi Penulisan
Laporan ini dibuat berdasarkan hasil observasi dengan menggunakan teknik wawancara dengan narasumbr tertentu. Selain itu laporan ini juga dibuat dengan menganalisis data dan fakta yang ditemukan dilapangan.
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Rumusan Masalah
1.4 Tujuan Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II TELAAH PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Laporan Observasi di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang
3.1.1 Sekilas Tentang Sekolah
3.1.2 Pelaksanaan Observasi
3.1.2.1 Kronologis Pelaksanan Observasi
3.1.3 Hasil Observasi
3.1.3.1 Pendapat Sekolah Mengenai UASBN
3.1.3.2 Persiapan UASBN di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang
3.1.3.3 Hambatan – hambatan
3.2 Pengalaman Penulis Menghadapi UAN
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran



BAB II
TELAAH PUSTAKA

Dalam Permendiknas RI Nomor 20 tahun 2008 tentang Standar Penilaian Pendidikan dijelaskan bahwa ujian sekolah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Selanjutnya Berdasarkan Permendiknas No. 39 Th. 2007 tentang UASBN untuk SD/MI/SDLB tahun 2007/2008 disebutkan bahwa UASBN adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk SD/MI/SDLB. Pelaksanaan UASBN bertujuan untuk: (1) menilai pencapaian kompetens lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, matematika dan IPA dan (2) mendorong tercapainya target.

Pelaksanaan UASBN untuk SD/MI/SDLB merupakan amanah Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 tahun 2007, setiap paket soal UASBN terdiri atas 25 persen soal ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan berlaku secara nasional. Sedangkan sisanya yang 75 persen lagi, ditetapkan Penyelenggara UASBN tingkat Provinsi berdasarkan spesifikasi soal UASBN Tahun Pelajaran 2007/2008 yang mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) model irisan (interseksi) yang ditetapkan BSNP.

Untuk mengetahui kaitan antara UASBN dan evaluasi pendidikan maka kita perlu berangkat dari kurikulum.Kurikulum disini berperan sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di Indonesia sekarang sedang dikembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional .

Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam draft tersebut merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh peserta didik yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi dapat diketahui melalui sejumlah hasil belajar dengan indikator tertentu. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual.

Cara mencapai kompetensi yang dibakukan disesuaikan dengan keadaan daerah dan atau sekolah. Berkaitan dengan hal ini dalam pelaksanaan kurikulum dikenal istilah diversifikasi kurikulum, maksudnya adalah bahwa kurikulum dikembangkan dengan menggunakan prinsip perbedaan kondisi dan potensi daerah, termasuk perbedaan individu peserta didik.

Dalam bidang pendidikan ditinjau dari sasarannya, evaluasi dapat dibedakan menjadi evaluasi makro dan mikro. Evaluasi yang bersifat makro sasarannya adalah program pendidikan yang direncanakan untuk memperbaiki bidang pendidikan. Sedangkan evaluasi mikro biasa digunakan ditingkat kelas, yaitu untuk mengetahui pencapaian belajar siswa. Pencapaian belajar ini tidak hanyayang bersifat, kognitif tapi juga meliputi semua aspek yang ada pada siswa, yaitu psikomotorik dan afektif. Evaluasi mikro sasarannya lebih pada program belajar di kelas yang penanggungjawabnya adalah guru untuk sekolah dan dosen untuk perguruan tinggi (Djemari Mardapi. 2002:2)

Evaluasi yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk mengingat kembali, tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan bertujuan untuk “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" (Pasal 3).

Dalam tujuan pendidikan di atas terdapat beberapa kata kunci antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan demokratis. Konsekuensinya adalah evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Pertanyaannya adalah bagaimana pelaksanaan evaluasi pendidikan di Indonesia? Apakah evaluasi yang dipakai dapat menjawab semua pertanyaan tentang tingkat pencapaian tujuan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional? Pada bagian berikut akan dibahas penerapan sistem evaluasi di Indonesia dalam bentuk UAN.




















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Laporan Observasi di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang

3.1.1 Sekilas Tentang Sekolah
SDN Tanah Tinggi 1 terletak di kecamatan tanah tinggi kelurahan Tangerang Banten. SDN Tanah Tinggi 1 letaknya berada ditengah – tengah komplek sekolah dasar yang tepatnya terletak di Jl. Daan Mogot no.I/13,Tangerang. Sekolah ini hanya memiliki 10 ruang kelas yang cukup memadai. Karena keterbatasan kelas tersebut siswa SD tersebut memiliki dua local yaitu, pagi dan siang. Sekolah dengan jumlah siswa sebanyak kurang lebih 400 siswa ini memulai KBM dari pukul 07.00 – 12.00 ( Lokal 1 ) dan 13.00 – 17.00 ( Local 2 ).

Visi sekolah adalah :
BERUPAYA MENCIPTAKAN SISWA YANG CERDAS, TERAMPIL, KREATIF, MANDIRI DAN BERAKHLAQUL KARIMAH
Misi Sekolah adalah :
1. Membentuk generasi yang cerdas, terampil dan kreatif
2. Menyelenggarakan pendidikan pelatihan dan bimbingan untuk menuju kemandirian
3. Membentuk generasi yang beriman dan bertaqwa
4. Mengadakan keterampilan siswa untuk mampu membaca Al – Quran
5. Membentuk siswa yang berakhlaqul karimah

3.1.2 Pelaksanaan Observasi
Hari/Tanggal : Senin, 16 Maret 2009
Tempat : SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang
Jalan Daan Mogot no. I/13 Tangerang Banten
Telp. 021 55845691
Pukul : 10.00 – 12.30 WIB
Narasumber : Kepala Sekolah SDN Tanah Tinggi 1
(Yetti Sulistiawati, S. Pd)
3.1.2.1 Kronologis Pelaksanan Observasi

Sebelumnya saya telah membuat janji bertemu dengan kepala sekolah pada tanggal 9 Maret 2009 namun dikarenakan hari itu libur nasional maka pertemuan diundur sampai tanggal 16 Maret 2009. Saya dating ke SDN Tananh Tinggi 1 pukul 10.00 pagi, saat itu saya langsung disambut ramah oleh dewan guru dan diharuskan menuggu sebentar karena kepala sekolah sedang ada kepentingan sebentar. Tidak berapa lama kemudian saya di perkenalkan dengan epala sekolah SDN Tanah Tinggi 1, Ibu Yetti Sulistiawati. Beliau ternyata baru menjabat sebagai kepsek disana selama 2 tahun dan sebelumnya ditugaskan di SDN 6 Tangerang.

Selanjutnya Ibu Yetti mengajak saya berbincang diruanganya, di lantai 2. Awalnya pembicaraan tersebut dibuka dengan pertanyaan ringan seputar backgrounsaya sebagai salah satu alumni SD tersebut. Kemudian saya mencoba menjelaskan tujuan saya melakukan observasi mengenai UASBN disekolah tersebut dan beliau menerimanya dengan senang hati.
Masuk pada sesi berikutnya saya mulai melontarkan pertanyaan – pertanyaan sekitas UASBN, persiapan sekolah dan peranan guru dalammempersiapkan siswa. Perbincangna yang hangat itu terjadi kurang lebih hampir 1 jam lamanya. Tak jarang disela perbincangan Ibu Yetti menceritakan pengalaman – pengalamannya.

Siang itu saya sangat bersyukur karena bisa diterima dengan baik oleh sekolah. Dari hasil wawancara tersebut hal menarik yang saya temunkan antara lain :
1. Kepala sekolah SDN Tanah Tinggi 1 mengaku sangat setuju dengan diadakannya UASBN sebagai alat evaluasi pendidikan. Diluar konteks kontrofersialnya UASBN dinilai mampu mendongkrak semangat siswa belajar dan mampu ecara tidak langsung guru akan dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam KBM demi tercapainya tujuan pendidikan.
2. Siswa dinialai masih dalam kondisi wajar, artinya belum ditemukan gejala –gejala atau kasus yang disebabkan oleh traumatis dan momok fenomena UASBN tersebut.
3. Dari hasil observasi saya melihat sekolah optimis dan telah berupaya sekeras mungkin dalam persiapan UASBN terebut buktinya sekolah mempersiapakan siswanya dengan memberikan 4 paket try out, yang sampai saat ini baru dilaksanakan 1 paket, sebagai strategi persiapan sekolah mempersiapkan siswa dalam pelaksanaan UASBN.

3.1.3.Hasil Observasi

3.1.3.1 Pendapat Sekolah Mengenai UASBN
UASBN sebagaiman diamatkan dalam peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2008 bertujuan untuk:
• Menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); dan
• Mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.

Dan sekolah mendukung ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan bangsa. Dengan standar yang teintegrasi maka UASBN dapat digunakan sebagai alat pemetaan mutu satuan pendidikan; dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.



3.1.3.2 Persiapan UASBN di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang
Ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) tahun pelajaran 2008/2009 yang akan dilaksanakan pada 11-13 Mei, meliputi pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi agnda besar bagi SDN Tanah Tinggi 1 bahkan seluruh sekolah. Adapun ujian susulan dilaksanakan pada 18-22 Mei. Soal UASBN ini berkomposisi 75 persen soal yang dibuat pemerintah daerah dan 25 persen dari pemerintah pusat. Sajauh ini belum ada persiapan yang terlalu spesipik guna menhadapi UASBN ini. Khususnya SDN Tanah Tinggi 1 ini memang telah merancang sebuah strategi besar dalam persiapan menghadapi UASBN yang hampir didepan mata.
Langkah – langkah yang diambil antara lain dengan mengikutsertakan seluruh siswa kelas VI dalam 4 paket Try Out yang disusun dari berbagai tingkatan. Tay Out ini dimaksudkan untuk menilai perkembangan siswa dalam pelaksanaan UASBN mendatang. Sampai saat ini siswa SDN Tanah Tinggi satu telah melaksanakan TO paket 1 pada tanggal 10-13 Maret 2009 kemarin dengan hasil TO terlampir.
Upaya lain yang digunakan sekolah dalam mengahadapi UASBN memang tidak hanya dengan melaksanakan try out saja tapi dari awal semester siswa kelas VI telah diperkenalkan dengan system UASBN ini sebagai upaya meminimalisir dampak pelaksanaannya yang terkesan kontrofersial. Selain persiapan administrasi, guru kelas VI pun telah berupaya meaksimalkan KBM dikelas dan memberikan pengayaan – pengayaan guna pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah juga telah bekerjasama dengan orangtua murid dengan mengkomunikasikan sejak dini dan mensosialisasikan program ini kepada orangtua.
3.1.3.3 Hambatan – hambatan

Dalam persiapan pelaksanaan UASBN di SDN Tanah Tinggi 1 Tangerang memang tidak lepas dari banyaknya hambatan – hambatan yang terjadi. Diakui oeh kepala sekolahnya keterbatasan sekolah membuat proses persiapan terhambat, misalkan saja masalah kurangnya kelas yang mengakibatkan guru harus memakai jam istirahat/jam kosong untuk memberikan pengayaan kepada siswa pada beberapa minggu sebelumnya yang mengakibatkan penambahan materi itu kurang efektif. Karena terbentur oleh penggunaan ruangan kelas dengan 2 lokal maka dari hasil kesepakatan bersama orang tua siswa kelas VI diwajibkan mengikuti pengayaan di hari minggu.

Hal lain yang menjadi hambatan lain misalnya kemampuan anak yang belum memadai dan kurangnya peran aktif orang tua dalam memotivasi anak. Sekolah dalam hal ini telah bekerja keras memotivasi, membimbing dan memfasilitasi belajar siswa, namun untuk beberpa kasus tertentu keadaran belajar anak masih sangat kurang sehingga guru harus ekstra kerja keras. Sistem belajar yang digunakan memang sudah cukup baik, artinya guru tidak lagi hanya menggunakan metode ceramah saja tapi mennggabungkannya dengan metode belajar lainyang lebih variatif. Hanya saja terbentur dari paradigma belajar dan lingkungan hidup anak – anak yang masih kurang mendukung. Maka usaha ini tidak hanya merupakantanggungjawab sekolah saja tapi juga tanggungjawab orang tua dan masyarakat dalam menumbuhkan kondisi belajar yang baik.

3.2 Pengalaman Penulis Menghadapi UAN

Bagi saya UAN menjadi momokbesar bagi pendidikan bangsa ini, mengapa demikian?Karena bila dianalogikan system yang dianut pendidikan ini seperti berjalan ditempat. Pada satu sisi pendidikan kita konsern pada pengembangan 3 ranah kognitif, psikomotorik dan afektif sebagai usaha pencapaian kompetensi siswa yang sesuai dengan bakat dan minatnya namun dengan dicanagkan UASBN sebagai alat evaluasi pendidikan yang terintegrasi ini membuktikan bahwa penerapan 3 aspek dalam pembelajaran tidak akan berguna karena dalam penilaian akhirnya hanay akan dinilai dengan 1 aspek saja, yaitu kognitif. Ironis memang fenomena yang terjadi ini tapi terlepas dari kontrofersi ini saya adalah salah satu korban dari gerakan jalan ditmpatnya pendidian bangsa ini. Saat saya berada di kelas VI ujian akhir sekolah masih menggunakan system nem. Tidak jauh berbeda dengan system yang sekarang hanya saja say itu penialainnya ditentukan berdasarkan nilai nem dan tidak berstandar nasional.

Kemudian saat saya mengikuti ujian akhir tingkat SMP tidak banyak hal yang saya ingat saat ini mengenai hal tersebut. Tapi yang paling berkesan adalah ketika system yang dibuat pemerintah itu bisa mengakibatkan salah seorang teman saya pingsan karena tidak lulus ujian. Saat itu hasil UAN memang dikirim kerumah via pos, tapi saya dan teman – teman menunggu pengumumannya disekolah. Karena menurut kami itu lebih baik. Dengan hati berdebar dan penuh keringat saya dan teman – teman menunggu hasil itu, bahkan sehari sebelum hari itu saya tidak bisa memejamkan mata untuk sekedar tidur. Dan ketika menerima hasilnya kami semua menangis bahagia bersama meskipun ada 2 orang dari teman kami yang menagis menyesali ketidaklulusannya. Saya bingung dan terpaku saat itu pakah saya harus senang / sedih. Memang sepertinya pemerintah kita merupakan sutradara-sutrada hebat yang mampu menciptakan suasana sekomlek itu.

Selanjutnya pengalaman saya di bangku Aliyah. Ini saat yang paling mendebarkan. Rasanya masih hangat diingatan saya ketika persiapan UAN. Mulai dari semester 4 dikelas XI kekhawatiran – kekhawatiran seputar UAn sudah menyelimuti kami. PEmberitaan heboh dari tiap tahun yang memakan korban tak ayal menambah ketakutan saya. Saat saya duduk di kelas XII rasanaya itu kursi yang paling panas. Saat itu perilaku saya dan teman – teman banyak yang berubah. Terutama kelas saya XII IPA I, kami mulai banyak melakukan belajar kelompok mandiri tiap jam kosong atau hari – hari libur. Banyak diantara kami yang mengikuti bimbingan belajar di berbagai tempat. Tapi saya sendiri tidak berkesempatan mengikuti BImbel diluar sekolah karena ketterbatasan saya.

Cara yang saya gunakan dalam mempersiapkan UAN lebih banyak pada diskusi dan latihan soal yang intensif bersama teman – teman yang mengikuti Bimbel. Saat itu saya optimis meskipun sangat khawatir. Ternyata UAN mampu memberikan dampak perubahan sikap yang cukup banyak bagi siswa calon – calon peserta UAN. Tapi dengan usaha dan niat belajar yang tinggi saat pelaksanaan UAN saya tidak mengalami banyak hambatan. Dan nilai yang saya dapatkan pun cukup memuaskan.





BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Ujian Nasional (UN) akan dilaksanakan pada tanggal 20-24 April 2009 (SMA/MA), 27-30 April 2009 (SMP/MTs), 11-13 Mei 2009 (SD/MI), dan 20-22 April 2009 (SMK/SMALB). Dengan ditetapkannya jadwal UN (berdasarkan kesepakatan bersama antara BSNP, Depdiknas, dan Depag), kontroversi tentang perlu tidaknya UN digelar yang selama ini mencuat ke permukaan, tak akan memengaruhi niat pemerintah untuk menggelar hajat rutin tahunan itu. UN yang dinilai masih efektif jika dibandingkan dengan pelaksanaan ujian yang diserahkan sepenuhnya kepada sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Selain rentan dengan “tipu-tipu”, ujian sekolah dinilai juga semakin menjauhkan kualitas lulusan dari standar kompetensi lulusan yang sesungguhnya. Bisa jadi, itulah yang menyebabkan Mendiknas perlu menetapkan UN melalui Surat Keputusan No. 77, 78, dan 82 Tahun 2008 beserta Prosedur Operasi Standar (POS) oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Fenomena ini menarik karena pelaksanaan UN ini memiliki pro dan kontra yang kental. Meskipun pihak pro mennggap UN mampu memberikan solusi yang lebih baik dengan memberikan standar naional untuk memotivasi minat belajar siswa. Namun penilaian pendidikan seperti ini tidak adil karena proses belajar siswa hanya ditentukan dalam 3 hari, dengan beberpa mata pelajaran dan hanya menyentuh ranah kognitif.

Penilaian ini dianggap tidak adil karena menggunakan tolak ukur dan standar yang sama padahal kemampuan dan fasilitas sekolah di Indonesia masih banyak kekurangan. Kita tidak bisa menyamaratakan standar penilaian untuk setiap sekolah, misalkan saja sekolah – sekolah di daerah yang fasilitas dan mutu pendidikannya masih jauh panggang daripada api. Kita harus juga memperhatikan ranah bakat dan minat siswa yang beragam. Maka rasanya bentuk penialaian seperti ini diras mesih kurang efektif.
Tapi memang karena kontrofersinya maka penerapan UASBN ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Seperti halnya SDN Tanah Tinggi 1 yang termasuk golongan kanan yang menyetujui UASBN sebagai alat penilaian pendidikan demi pencapaian upaya peningkatan mutu pendidikan. Hal itu wajar karena mereka meanggap bahwa jika tidak dipaksakan dan didorong maka bangsa ini akan terus menjadi bangsa yang pemalas dan tidak mau berkembang.

Tapi disisi lain masih banyak muncul fenomena kecurangan dan kebocoran soal dimana – mana. Tidak jarang momok ketakutan UN mampu memakan korban jiwa. Sangat memprihatinkan bukan wajah pendidikan kita. Maka seanjutnya ini menjadi tugas besar bagi bangsa ini, tidak hanya pemerintah, kepala sekolah, dan guru tapi menjadi tugas kita semua untuk memperbaiki diri dan bercermin juga berpihak pada kepentingan orang banyak, sehingga akan tercipta pendidikan yang bermutu tinggi di tanah Indonesia tercinta ini.


4.2 Saran
Sepertinya bangsa ini arus bercermin pada Finlandia. Finlandia yang merupakan Negara yang meraih sebagai Negara dengan kualitas pendidikan no.1 di dunia hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Finlandia memiliki strategi yang menarik dalam mencerdaskan bangsanya. Ia tidak berangkat dari formalitas – formailitas yang banyak menjadi dewa dalam pendidikan bangsa. Di Finlandia siswa tidak dibebani dengan jam belajar yang terlalu banyak, tidak memberi beban PR tambahan, tidak menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu

Kuncinya kualitas pendidikan Finlandia memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Dengan kualitas guru yang professional siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Disini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan.

Seperti halnya penerapan UASBN yang mengkomandoi pendidian bangsa ini. Sepatutnya kita bisa bercermin dan mengkaji ulang apakah system penilaian dengan UASBN telah sesuai dengan keadaan dan kondisi pendidikan bangsa ini atau tidak. Jawaban itu akan kita temui jika masing – masing kita menyadari esensi dari belajar tersebut. Paradigma orientasi hasil belajar rasanya perlu diganti dengan orientasi proses belajar, karena apapun yang kita alami prosesnya jauh lebih penting dibandingkan dengan hasil akhir yang bisa tidak mampu mewakili kemampuan seseorang. Dan semoga ini menjadi bahan pertimbangan bagi perbaikan pendidikan bangsa.















DAFTAR PUSTAKA

































Lampiran – Lampiran

Dokumentasi































List Pertanyaan Wawancara :
1. Menurut Bapak / Ibu mengapa diadakan UN ?
2. Menurut Bapak / Ibu pentingkah pelaksanaan UN? Mengapa !
3. Sejauh apa peranan pelaksanaan UN dalam evaluasi belajar siswa ?
4. Apakah sekolah telah siap dengan pelaksanaan UN ?
5. Lalu apa target yang ingin dicapai sekolah dalam pelaksanaan UN mendatang ?
6. Bagaimana persiapan sekolah dalam menghadapi UN dan kendala apa saja yang banyak ditemui ?
7. Lalu upaya apa saja yang dilakukan sekolah untuk menyikapi kendala – kendala menghadapi UN ?
8. Bagaimana kesiapan siswa dalam mengahdapi UN?
9. Apakah ada perubahan perilaku dari siswa ?
10. Bagaimana dengan hasil UN pada tahun lalu, dan apa saja yang telah dilakukan sekolah dala mengevaluasi hasil UN tahun lalu?
11. Apa harapan sekolah untuk UN tahun ini ?
12. Dan menurut Bapak / Ibu tepatkah pelaksanaan UN yang dilakukan pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan Bangsa ? Mengapa !



Rachmawati Nurerlinda

Selasa, Maret 17, 2009

Empat Pilar Belajar

Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia yang sangat cepat, Unesco (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005) merumuskan empat pilar belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh (learning to be).

1. Belajar mengetahui (learning to know)

Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu bukan saja disebabkan karena adanya perkembangan yang sangat cepat dalam bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga karena perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama dalam bidang elektronika, memungkinkan sejumlah besar informasi dan pengetahuan tersimpan, bisa diperoleh dan disebarkan secara cepat dan hampir menjangkau seluruh planet bumi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh, memperdalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, mengikuti kuliah, dll. Pengetahuan dikuasai melalui hafalan, tanya-jawab, diskusi, latihan pemecahan masalah, penerapan, dll. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatakan kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dll.

Jacques Delors (1996), sebagai ketua komisi penyusun Learning the Treasure Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat (mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil, pengetahuan mereka dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.

Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan menjadi knowing much (berusaha tahu banyak).

2. Belajar berkarya (learning to do)

Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan didunia industri dan perusahaan terus meningkat, maka individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak).

3. Belajar hidup bersama (learning to live together)

Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama)

4. Belajar berkembang utuh (learning to be)

Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/08/empat-pilar-belajar/

Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal

Diambil dari Depdiknas. 2008 A.Pengertian

Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Sumber lain mengatakan bahwa Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah (Dedidwitagama,2007). Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Keunggulan Lokal (KL) adalah suatu proses dan realisasi peningkatan nilai dari suatu potensi daerah sehingga menjadi produk/jasa atau karya lain yang bernilai tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif.

Keunggulan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah adalah potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah. Sebagai contoh potensi kota Batu Jawa Timur, memiliki potensi budi daya apel dan pariwisata. Pemerintah dan masyarakat kota Batu dapat melakukan sejumlah upaya dan program, agar potensi tersebut dapat diangkat menjadi keunggulan lokal kota Batu sehingga ekonomi di wilayah kota Batu dan sekitarnya dapat berkembang dengan baik.

Kualitas dari proses dan realisasi keunggulan lokal tersebut sangat dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, yang lebih dikenal dengan istilah 7 M, yaitu Man, Money, Machine, Material, Methode, Marketing and Management. Jika sumber daya yang diperlukan bisa dipenuhi, maka proses dan realisasi tersebut akan memberikan hasil yang bagus, dan demikian sebaliknya. Di samping dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, proses dan realisasi keunggulan lokal juga harus memperhatikan kondisi pasar, para pesaing, substitusi (bahan pengganti) dan perkembangan IPTEK, khususnya perkembangan teknologi. Proses dan realisasi tersebut akan menghasilkan produk akhir sebagai keunggulan lokal yang mungkin berbentuk produk (barang/jasa) dan atau budaya yang bernilai tinggi, memiliki keunggulan komparatif, dan unik.

Dari pengertian keunggulan lokal tersebut diatas maka Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) di SMA adalah pendidikan/program pembelajaran yang diselenggarakan pada SMA sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, budaya, historis dan potensi daerah lainnya yang bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik.

B. Potensi Keunggulan Lokal

Konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasikan dari berbagai potensi, yaitu potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), geografis, budaya dan historis. Uraian masing-masing sebagai berikut.

1. Potensi Sumber Daya Alam

Sumber daya alam (SDA) adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk berbagai kepentingan hidup. Contoh bidang pertanian: padi, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran dll.; bidang perkebunan: karet, tebu, tembakau, sawit, coklat dll.; bidang peternakan: unggas, kambing, sapi dll.; bidang perikanan: ikan laut, ikan air tawar, rumput laut, tambak, dll. Contoh lain misalnya di provinsi Jawa Timur memiliki keunggulan komparatif dan keragaman komoditas hortikultura buah-buahan yang spesifik, dengan jumlah lokasi ribuan hektar yang hampir tersebar di seluruh di wilayah kabupaten/kota. Keunggulan lokal ini akan lebih cepat berkembang, jika dikaitkan dengan konsep pembangunan agropolitan (Teropong Edisi 21, Mei-Juni 2005, h. 24). Agropolitan merupakan pendekatan pembangunan bottom-up untuk mencapai kesejahteraan dan pemerataan pendapatan yang lebih cepat, pada suatu wilayah atau daerah tertentu, dibanding strategi pusat pertumbuhan (growth pole).

2. Potensi Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (SDM) didefinisikan sebagai manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menjadi makhluk sosial yang adaptif dan transformatif dan mampu mendayaguna- kan potensi alam di sekitarnya secara seimbang dan berkesinambungan (Wikipedia, 2006). Pengertian adaptif artinya mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK dan perubahan sosial budaya. Bangsa Jepang, karena biasa diguncang gempa merupakan bangsa yang unggul dalam menghadapi gempa, sehingga cara hidup, sistem arsitektur yang dipilihnya sudah diadaptasikan bagi risiko menghadapi gempa. Kearifan lokal (indigenous wisdom) semacam ini agaknya juga dimiliki oleh penduduk pulau Simeulue di Aceh, saat tsunami datang yang ditandai dengan penurunan secara tajam dan mendadak muka air laut, banyak ikan bergelimpangan menggelepar, mereka tidak turun terlena mencari ikan, namun justru terbirit-birit lari ke tempat yang lebih tinggi, sehingga selamat dari murka tsunami. Pengertian transformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan dan mengembangkan seluruh pengalaman dari kontak sosialnya dan kontaknya dengan fenomena alam, bagi kemaslahatan dirinya di masa depan, sehingga yang bersangkutan merupakan makhluk sosial yang berkembang berkesinambungan.

SDM merupakan penentu semua potensi keunggulan lokal. SDM sebagai sumber daya, bisa bermakna positif dan negatif, tergantung kepada paradigma, kultur dan etos kerja.Dengan kata lain tidak ada realisasi dan implementasi konsep keunggulan lokal tanpa melibatkan dan memposisikan manusia dalam proses pencapaian keunggulan. SDM dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas SDA, mencirikan identitas budaya, mewarnai sebaran geografis, dan dapat berpengaruh secara timbal balik kepada kondisi geologi, hidrologi dan klimatologi setempat akibat pilihan aktivitasnya, serta memiliki latar sejarah tertentu yang khas. Pada masa awal peradaban, saat manusia masih amat tergantung kepada alam, ketergantungannya yang besar terhadap air telah menyebabkan munculnya peradaban pertama di sekitar aliran sungai besar yang subur.

3. Potensi Geografis

Objek geografi antara lain meliputi, objek formal dan objek material. Objek formal geografi adalah fenomena geosfer yang terdiri dari, atmosfer bumi, cuaca dan iklim, litosfer, hidrosfer, biosfer (lapisan kehidupan fauna dan flora), dan antroposfer (lapisan manusia yang merupakan tema sentral). Sidney dan Mulkerne (Tim Geografi Jakarta, 2004) mengemukakan bahwa geografi adalah ilmu tentang bumi dan kehidupan yang ada di atasnya. Pendekatan studi geografi bersifat khas. Pengkajian keunggulan lokal dari aspek geografi dengan demikian perlu memperhatikan pendekatan studi geografi. Pendekatan itu meliputi; (1) pendekatan keruangan (spatial approach), (2) pendekatan lingkungan (ecological approach) dan (3) pendekatan kompleks wilayah (integrated approach). Pendekatan keruangan mencoba mengkaji adanya perbedaan tempat melalui penggambaran letak distribusi, relasi dan inter-relasinya. Pendekatan lingkungan berdasarkan interaksi organisme dengan lingkungannya, sedangkan pendekatan kompleks wilayah memadukan kedua pendekatan tersebut.

Tentu saja tidak semua objek dan fenomena geografi berkait dengan konsep keunggulan lokal, karena keunggulan lokal dicirikan oleh nilai guna fenomena geografis bagi kehidupan dan penghidupan yang memiliki, dampak ekonomis dan pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Contoh tentang angina fohn yang merupakan bagian dari iklim dan cuaca sebagai fenomena geografis di atmosfer. Angin fohn adalah angin jatuh yang sifatnya panas dan kering. terjadi karena udara yang mengandung uap air gerakannya terhalang oleh gunung atau pegunungan. Contoh angin fohn di Indonesia adalah angin Kumbang di wilayah Cirebon dan Tegal karena pengaruh Gunung Slamet, angin Gending di wilayah Probolinggo yang terjadi karena pengaruh gunung Lamongan dan pegunungan Tengger, angin Bohorok di daerah Deli, Sumatera Utara karena pengaruh pegunungan Bukit Barisan.

eperti diketahui angin semacam itu menciptakan keunggulan lokal Sumber Daya Alam, yang umumnya berupa tanaman tembakau, bahkan tembakau Deli berkualitas prima dan disukai sebagai bahan rokok cerutu. Semboyan Kota Probolinggo sebagai kota Bayuangga (bayu = angin, anggur dan mangga) sebagai proklamasi keunggulan lokal tidak lepas dari dampak positif angin Gending.

4. Potensi Budaya

Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik, masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme yang pada hakekatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri khas budaya masing-masing daerah tertentu (yang berbeda dengan daerah lain) merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga menjadi keunggulan lokal. Beberapa contoh keunggulan lokal menghargai kebudayaan setempat yaitu upacara Ngaben di Bali, Malam Bainai di Sumatera Barat, Sekatenan di Yogyakarta dan Solo dan upacara adat perkawinan di berbagai daerah.

Sebagai ilustrasi dari keunggulan lokal yang diinspirasi oleh budaya, misalnya di Kabupaten Jombang Jawa Timur, telah dikenal antara lain:

* Teater “Tombo Ati” (Ainun Najib)
* Musik Albanjari (Hadrah)
* Kesenian Ludruk Besutan
* Ritualisasi Wisuda Sinden (Sendang Beji)

5. Potensi Historis

Keunggulan lokal dalam konsep historis merupakan potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala maupun tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Konsep historis jika dioptimalkan pengelolaannya akan menjadi tujuan wisata yang bisa menjadi asset, bahkan menjadi keunggulan lokal dari suatu daerah tertentu. Pada potensi ini, diperlukan akulturasi terhadap nilai-nilai tradisional dengan memberi kultural baru agar terjadi perpaduan antara kepentingan tradisional dan kepentingan modern, sehingga aset atau potensi sejarah bisa menjadi aset/potensi keunggulan lokal.

Salah satu contoh keunggulan lokal yang diinspirasi oleh potensi sejarah, adalah tentang kebesaran “Kerajaan Majapahit”, antara lain : Pemerintah Kabupaten Mojokerto secara rutin menyelenggarakan Perkawinan ala Majapahit sebagai acara resmi yang disosilaisasikan kepada masyarakat;

* Pada bulan Desember 2002, diadakan Renungan Suci Sumpah Palapa di makam Raden Sriwijaya (Desa Bejijong, Trowulan, Kab. (Mojokerto) yang dihadiri Presiden RI K.H Abdurachman Wachid;
* Festival Budaya Majapahit yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan dan Filsafat Javanologi dan Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Dinas P & K Kabupaten Mojokerto ( 27 Maret 2003).

ISTEM MANAGEMEN PEMBELAJARAN BERBASIS WEB


A. Rasional
• Berbagai perubahan penting dalam banyak aspek kehidupan—khususnya dalam bidang ekonomi, sosial, sains dan teknologi—telah mendorong lahirnya terobosan-terobosan baru dalam cara bagaimana manusia melakukan pembelajaran (learning). Poin penting yang menjadi inti dari arus baru tersebut adalah bagaimana melakukan proses pembelajaran secara lebih mandiri, fleksibel, berpusat pada pembelajar (learner), kolaboratif, terkelola dengan efektif dan efisien, on-demand learning, real-time, serta mendukung paradigma pembelajaran sepanjang hayat (life-long education).

• Universitas Hasanuddin sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka di tanah air, sejak dini harus mengantisipasi perubahan tersebut dengan berupaya mengoptimalkan sumber daya pendidikan yang ada, termasuk di dalamnya program INHERENT yang telah diluncurkan oleh pemerintah, dalam rangka membangun dan mengembangkan sistem dan proses penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology) atau apa yang kemudian jamak disebut dengan e-learning.

• Konten pelajaran (course content) adalah salah satu faktor penentu dalam mencapai kesuksesan dalam sebuah program e-learning. Oleh karena itu, Universitas Hasanuddin memandang persoalan pengelolaan konten pembelajaran sebagai persoalan sangat mendasar dalam upaya pengembangan dan penyelenggaraan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

• Pengelolaan konten pembelajaran dimaksud harus dikembangkan diatas fondasi strategi dan perencanaan yang matang dengan memperhatikan teori, metode, dan pengalaman praktis yang ada berkaitan dengan teknologi pembelajaran, serta dengan menyesuaikannya dengan misi dan tujuan Universitas Hasanuddin sebagai institusi penyelenggara.

• Pengembangan Sistem Manajemen Pembelajaran (Learning Mangement System) diorientasikan untuk memfasilitasi pengembangan dan pengelolaan konten belajar secara mudah, efektif, dan efisien bagi segenap pihak berkepentingan dalam Civitas Akademika, mulai dari mahasiswa, dosen, asisten dosen, system administrator, dan sebagainya. Dengan demikian, sistem ini diharapkan dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh semua kalangan, tanpa harus dipersyaratkan dengan kemampuan teknis dalam hal penguasaan teknologi pendukung.


B. TUJUAN

Tujuan utama dari program pengembangan Sistem Manajemen Pembelajaran ini adalah sebagai berikut:

• Memfasilitasi pengelolaan dan pengembangan konten belajar di perguruan tinggi secara online dan tersentral dalam rangka efektifitas manajemen proses pembelajaran.
• Memfasilitasi adanya forum virtual yang dapat menjadi ajang pertemuan segenap civitas akademika secara synchronous maupun asynchronous untuk membangun sinergi antar berbagai pihak dan sumber daya manusia perguruan tinggi.
• Menyediakan sistem manajemen konten pembelajaran yang bersifat open source, open access, standarize, serta memiliki interoperability yang baik sehingga dapat dikembangkan terus menerus sesuai dengan perkembangan kebutuhan institusi maupun tuntutan metode pembelajaran masa mendatang.

C. Luaran (Output)
Hasil yang diharapkan dari program ini antara lain adalah :
1. Tersedianya Server Sistem Manajemen Pembelajaran di 13 Fakultas dalam lingkungan UNHAS.
2. Seluruh staf dosen mampu membuat modul Sistem Manajemen Pembelajaran untuk mata kaliah yang diasuhnya
3. Diharapkan semua staf dosen mampu melatih mahasiswanya untuk menggunakan materi PEMBELAJARAN BERBASIS WEB

D. Mekanisme
1. Pusat Informasi UNHAS akan menginstal perangkat lunak Sistem Manajemen Pembelajaran di server dan melatih admin untuk Sistem Manajemen Pembelajaran di setiap Fakultas.
2. Pusat Informasi UNHAS berkoordinasi dengan Admin dan tenaga lokal disetiap Fakultas untuk melatih dosen disetiap Jurusan/Program Studi/Bagian mengenai pembuatan modul Pembelajaran Berbasis Web.

E. Skema pembiayaan
Jumlah biaya yang diajukan disesuaikan dengan ruang lingkup kegiatan, dengan biaya maksimal Rp 15.000.000,- per Fakultas. Perkiraan komposisi biaya sebagai berikut :

No Komponen Biaya Persentase
1 Honorarium 55 %
2 Bahan habis pakai, Penggandaan Penuntun 35 %
3 Evaluasi dan Penyusunan laporan 10 %

Dengan demikian jumlah keseluruhan adalah : 13 Fakultas x Rp 15.000.000,- = Rp 195.000.000,- (seratus sembilan puluh lima juta rupiah)

F. Waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan maksimum empat bulan terhitung dari penandatangan kontrak.

www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/inherent/draft/TOR%20LSM.doc




Quantum learning

Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.

Prinsip suggestology hampir mirip dengan proses accelerated learning, pemercepatan belajar: yakni, proses belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Suasana belajar yang efektif diciptakan melalui campuran antara lain unsur-unsur hiburan, permainan, cara berpikir positif, dan emosi yang sehat.

“Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan posistif – faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang (Bobby De Porter dan Hernacki, 1992)

Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.” Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning), simulasi/permainan.

Beberapa hal yang penting dicatat dalam quantum learning adalah sebagai berikut. Para siswa dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.”

Berdasarkan penjelasan mengenai apa dan bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik, matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik (melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi (melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat). Bagaimana memanfaatkan cara berpikir dua belahan otak “kiri dan kanan”. Proses berpikir otak kiri (yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional), misalnya, dikenakan dengan proses pembelajaran melalui tugas-tugas teratur yang bersifat ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Proses berpikir otak kanan (yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik), dikenakan dengan proses pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan nonverbal (seperti perasaan dan emosi), kesadaran akan perasaan tertentu (merasakan kehadiran orang atau suatu benda), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreatifitas dan visualisasi.

Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang menargetkan tumbuhnya “emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan diri.” Keempat unsur ini bila digambarkan saling terkait. Dari kehormatan diri, misalnya, terdorong emosi positif yang mengembangkan kekuatan otak, dan menghasilkan keberhasilan, lalu (balik lagi) kepada penciptaan kehormatan diri.

Dari proses inilah, quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.” Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari kehidupan.”

Dalam kaitan itu pula, antara lain, quantum learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar demikian rupa, para pelajar diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar.

Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu: lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja, kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak bekerja serta akhirnya konsentrasi siswa.

Lingkungan makro ialah “dunia yang luas.” Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru,” tulis Porter. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi. Selain itu, berinteraksi dengan masyarakat juga berarti mengambil peluang-peluang yang akan datang, dan menciptakan peluang jika tidak ada, dengan catatan terlibat aktif di dalam tiap proses interaksi tersebut (untuk belajar lebih banyak mengenai sesuatu). Pada akhirnya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan di dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas “zona aman, nyaman dan merasa dihargai” dari siswa.

Sumber : Septiawan Santana Kurnia, Quantum Learning bagi Pendidikan Jurnalistik: (Studi pembelajaran jurnalistik yang berorientasi pada life skill); on line : Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan www.depdiknas.go.id

Teori - Teori Belajar

Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.

A. Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.

* Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
* Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

* Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
* Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

* Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
* Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

D. Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/

Sarana Baru Pembelajaran di Sekolah



Kamis,24 Des 2003
Kompas
MEMBACA rubrik Kolom 8@9 di harian ini tanggal 15 Desember 2003, sebagai praktisi pendidikan yang terjun langsung di lapangan hati ini terasa trenyuh dan sedih. Memang seperti itulah kondisi riil di lapangan. Apalagi sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah pinggiran, dalam artian geografis maupun kualitas.

Tetapi justru keterbatasan tersebut yang mendorong komponen sekolah untuk selalu berusaha mengatasi segala permasalahan yang muncul meskipun jujur diakui kadang kala keterbatasan tersebut menyebabkan semangat melemah.

Di tengah-tengah keterbatasan tersebut, menyeruak sedikit harapan dalam upaya pengenalan teknologi informasi (TI) dalam proses pembelajaran siswa. Dengan sedikit kreativitas, guru dapat mengoptimalkan fungsi fitur telepon seluler (ponsel) yang disediakan oleh para produsen ponsel dan operator GSM di Indonesia.

Perkembangan teknologi informasi menyebabkan gaya hidup manusia sangat berubah. Ponsel bukan lagi menjadi sebuah simbol status seperti dulu. Survei Siemens Mobile Lifestyle III memberikan hasil yang mencengangkan. Menurut survei tersebut, 60 persen remaja usia 15-19 tahun lebih suka membaca SMS (short messaging service) daripada membaca buku (Kompas, 4 April 2003).

Realitas seperti itu tentu saja harus disikapi secara bijaksana. Tidak perlu risau dengan kondisi seperti itu. Dibutuhkan kelihaian penyelenggara pendidikan untuk justru memanfaatkan realitas tersebut sebagai cara baru dalam proses pembelajaran. Guru, sebagai salah satu komponen pembelajaran, diharapkan mampu menjadi motivator dan dinamisator pada sebuah kelas.

Guru tidak harus menjadi orang paling tahu dan paling benar dalam sebuah kelas seperti selama ini terjadi. Bobbi de Porter dan kawan-kawan (2002: 7) mengibaratkan kelas sebagai sebuah orkestra dan guru adalah konduktor yang membawa peserta didik naik-turun mengikuti irama yang dimainkannya. Keberhasilan proses pembelajaran, masih menurut mereka, sangat dipengaruhi kemampuan guru memasuki dunia siswa dan mengantarkan para siswa memasuki dunia baru yang ingin diajarkan guru, seperti konsep, proses, dan fenomena-fenomena baru.

Aktivitas SMS

Sekitar dua tahun lalu, beberapa sekolah menengah umum (SMU) di daerah harus merevisi tata tertib siswa yang sudah berlaku bertahun-tahun dengan menambahkan item larangan mengaktifkan ponsel di dalam kelas. Penyebabnya adalah dalam tas sekolah mereka tersimpan ponsel yang dibawa dengan tujuan beragam, baik yang bersifat hura-hura (just fun) sampai yang serius.

Jika di daerah saja sudah diberlakukan seperti itu, asumsinya di kota-kota besar kecenderungan penggunaan ponsel jauh lebih awal dan jumlahnya lebih besar. Street polling yang dilakukan Tim MUDA Kompas terhadap 100 remaja SMU di empat kota besar di Indonesia memperkuat hal itu.

Meski menurut mereka data tersebut diakui tidak dapat dipakai sebagai rujukan untuk penelitian atau sejenisnya (Kompas, 4 April 2003:37), dapat digunakan sebagai gambaran kasar betapa lekatnya ponsel dalam kehidupan remaja. Dalam hal frekuensi mengirim SMS, 35 persen melakukan antara 5-10 kali, 51 persen melakukan antara 11-20 kali, dan 14 persen dari mereka melakukan aktivitas pengiriman SMS lebih dari 20 kali sehari.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah temuan Siemens Lifestyle Survey di enam negara Asia Tenggara pada remaja usia 15-19 tahun dan pasca-remaja pada golongan usia 20-29 tahun. Di Indonesia 79 persen penduduk sangat merasa kehilangan ketika ponsel mereka tidak ada di sekitarnya, 40 persen orang Indonesia jantungnya berdebar lebih cepat ketika mendengar dering SMS, dan yang lebih menarik lagi 58 persen orang Indonesia lebih suka mengirim dan membaca SMS daripada membaca buku (Kompas, 17 April 2003:49).

Peluang baru

Menurut teori belajar humanisme, anak didik ditempatkan sebagai manusia bebas yang mampu mengarahkan dirinya secara bebas. Berdasarkan pandangan tersebut, Carl R Rogers mengembangkan bentuk belajar bebas yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk menentukan sendiri tujuan dan mengambil tanggung jawab pribadi yang positif bagi masa depannya (Nasution, 1995: 84).

Implikasinya, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal dalam proses pembelajarannya, dengan cara memberikan kesempatan mengkaji sumber-sumber belajar yang ada di lingkungannya, memperkenalkan penggunaan metode pembelajaran yang baru, penggunaan media pendidikan yang up to date, pemanfaatan lingkungan sekitar, kunjungan ke suatu obyek, dan sebagainya. Guru dituntut menciptakan suasana yang penuh tantangan, kompetitif, dinamis, dan terbuka.

Kenyataan, 60 persen remaja Indonesia lebih suka berkirim SMS daripada membaca buku tidak boleh dan tidak sepantasnya dipandang sebagai sebuah ancaman atau bahaya. Dengan penyikapan yang benar, sebenarnya sebuah peluang baru dalam proses pembelajaran siswa terbuka.

Paling tidak, guru memberi peluang kepada para siswa untuk saling say hello atau memberikan tugas melalui SMS. Keakraban yang terbentuk antara guru dan murid merupakan modal kuat untuk kesuksesan proses pembelajaran selanjutnya.

Hubungan inilah yang akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa, membuka jalan memasuki dunia baru mereka, mengetahui minat mereka, dan berbicara dengan bahasa hati mereka. Dengan asumsi semakin lama teknologi semakin murah, maka ber-SMS dalam proses pembelajaran menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih funky.

Kelas dinamis

Selama ini ruangan-ruangan kelas yang diam atau tenang, seragam, datar, tidak penuh gejolak, arus komunikasi searah dari guru ke siswa, dan tidak dinamis merupakan pemandangan yang teramat biasa dan bahkan diidamkan. Padahal, menurut model pembelajaran Quantum, hakikat belajar adalah suatu proses yang seharusnya dipenuhi dengan ketakjuban, penemuan, permainan, keterlibatan, penuh keingintahuan, dan tentu saja kegembiraan (Bobbi de Porter dkk, 2002: 27).

Karena itu, guru sebagai konduktor harus mampu menciptakan suasana yang fun. Caranya dengan mengoptimalkan fitur-fitur yang disediakan vendor ponsel dan operator GSM. Dengan fitur MMS (multimedia messaging service), siswa diminta mengirimkan foto-foto kegiatan praktik lapangan ke ponsel guru atau adu cepat menemukan obyek di suatu tempat dengan cara mengirim foto obyek dimaksud dengan komentar secara lisan maupun tertulis.

Fasilitas WAP (Wireless Access Protocol) memungkinkan para siswa surfing di Internet dari dalam kelas. Dengan demikian, guru tidak perlu lagi membawa peta, gambar hewan, atau tumbuhan, penampang lintang jaringan epitel, foto meander, dan sebagainya. Tinggal klik saja situs web (web site) tertentu yang diinginkan, maka berbagai kebutuhan proses pembelajaran siswa dapat berlangsung dengan sangat menyenangkan.

Prinsipnya, fitur-fitur yang mendukung suasana kelas menjadi menggairahkan dapat digunakan dalam proses pembelajaran siswa, termasuk music phone berformat MP3. Dengan menghubungkan ponsel dengan penguat suara, musik di dalam kelas dapat diatur sesuai dengan keinginan kelas , baik volume maupun pilihan musiknya.

Dukungan operator ponsel

Sayangnya, sampai sekarang optimalisasi fungsi fitur ponsel belum semuanya dapat terpenuhi. Lagi-lagi, penyebabnya adalah keterbatasan dana. Mahalnya harga ponsel dan biaya operasional serta keterbatasan jaringan merupakan kendala yang tidak mudah untuk dipecahkan.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan produksi massal ponsel dengan fitur tertentu yang sangat dibutuhkan siswa, seperti MMS atau WAP, untuk kemudian dijual dengan harga lebih rendah daripada harga pasar. Produsen ponsel dapat bekerja sama dengan operator GSM. Kinerja ponsel dibuat berbeda dengan ponsel untuk pasar umum, misalnya dengan mencantumkan logo operator GSM pada casing-nya.

Selain itu, perlu juga dipertimbangkan adanya kerja sama antaroperator GSM dalam layanan MMS. Tanpa adanya trafik MMS di antara mereka MMS akan menjadi fitur kerdil yang tidak banyak berarti dalam dunia pendidikan.

Yang perlu segera direalisasikan adalah penurunan tarif layanan fitur-fitur yang disediakan sehingga tidak memberatkan siswa dan guru dalam proses pembelajarannya. Bagi para guru yang memanfaatkan fitur ponsel dalam proses pembelajaran, setiap awal tahun pelajaran mengajukan proposal kebutuhan biaya ponsel untuk dimasukkan dalam rancangan anggaran belanja sekolah.

Jika MMS atau WAP belum memungkinkan, sementara SMS pun cukup. Paling tidak dengan memanfaatkan fitur SMS yang murah dan menjadi favorit remaja Indonesia, guru mampu membangun sebuah komunikasi yang sangat baik dengan para muridnya dan membiasakan siswa menggunakan teknologi informasi sehingga tidak akan ada lagi yang bilang, "Cian deh loe…, nggak ngerti TI!"

Zulkarnaen Syri L Staf Pengahar SMUN 1 Jatinom-Klaten, Jawa Tengah

http://www.x-phones.com/www/as_detail.php?id=348

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca



Oleh

Heri Abi Burachman Hakim

Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM



Saat ini minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi bangsa Indonesia. Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Pemerintah, praktisi pendidikan, LSM dan masyarakat yang perduli pada kondisi minat baca saat ini telah melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat untuk membaca, akan tetapi berbagai program tersebut belum memperoleh hasil maksimal

Untuk mewujudkan bangsa berbudaya baca, maka bangsa ini perlu melakukan pembinaan minat baca anak. Pembinaan minat baca anak merupakan langkah awal sekaligus cara yang efektif menuju bangsa berbudaya baca. Masa anak-anak merupakan masa yang tepat untuk menanamkan sebuah kebiasaan, dan kebiasaan ini akan terbawa hingga anak tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Dengan kata lain, apabila sejak kecil seseorang terbiasa membaca maka kebiasaan tersebut akan terbawa hingga dewasa.

Pada usia sekolah dasar, anak mulai dikenalkan dengan hurup, belajar mengeja kata dan kemudian belajar memaknai kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kalimat yang memiliki arti. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Setelah anak-anak mampu membaca, anak-anak perlu diberikan bahan bacaan yang menarik sehingga mampu menggugah minat anak untuk membaca buku. Minat baca anak perlu dipupuk dengan menyediakan buku-buku yang menarik dan representatif bagi perkembangan anak sehingga minat membaca tersebut akan membentuk kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan membaca telah tertanam pada diri anak maka setelah dewasa anak tersebut akan merasa kehilangan apabila sehari saja tidak membaca. Dari kebiasaan individu ini kemudian akan berkembang menjadi budaya baca masyarakat.

Akan tetapi pembinaan minat baca anak saat ini sering terbentur dengan masalah ketersediaan sarana baca. Tidak semua anak-anak mampu mendapatkan buku yang mampu mengugah minat mereka untuk membaca. Faktor ekonomi atau minimnya kesadaran orang tua untuk menyediakan buku bagi anak menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan buku yang dibutuhkan. Tidak tersedianya sarana baca merupakan masalah besar dalam pembinaan minat baca anak. Anak-anak tidak dapat memanjakan minat bacanya karena tidak tersedia sarana baca yang mampu menggugah minat anak untuk membaca. Padahal pembinaan minat baca anak merupakan modal dasar untuk memperbaiki kondisi minat baca masyarakat saat ini.

Untuk mengatasi masalah ketersedian sarana baca anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah dapat difungsikan sebagai institusi penyedia sarana baca cuma-cuma bagi anak-anak. Melalui koleksi yang dihimpun perpustakaan, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca anak.

Tetapi amat disayangkan, perpustakaan sekolah yang dijadikan ujung tombak dalam pembinaan minat baca anak justru dalam kondisi yang memprihatikan. Bahkan saat ini banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan. Data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1% dari 260.000 sekolah dasar negeri yang memiliki perpustakaan (Kompas, 25/7/02). Keadaan ini tentu bertolak balakang dengan Undang-undang nomor 2 pasal 35 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yang menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan. ironis bukan, mana mungkin minat baca anak dapat terbina apabila sekolah tidak memiliki perpustakaan yang menyediakan buku sebagai sarana baca bagi siswa (anak).

Walaupun ada sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah, perpustakaan sekolah belum dikelola dengan baik. Hanya sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional.

Banyak perpustakaan sekolah yang pengelolaanya terkesan “yang penting jalan”. Hal ini terlihat dari segi koleksi, sarana perpustakaan serta tenaga pengolola perpustakaan sendiri. Koleksi perpustakaan sebagian besar berisi buku-buku paket sehingga kurang mampu menarik minat siswa untuk mengakses perpustakaan. Sarana dan prasarana perpustakaan yang seadaanya menyebabkan suasana perpustakaan kurang nyaman. Selain itu banyak perpustakaan sekolah yang tidak dikelola oleh tenaga profesional di bidang perpustakaan, perpustakaan dikelola oleh guru pustakawan (guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan) yang memiliki tanggung jawab utama sebagai pengajar menyebabkan pengelolaan perpustakaan tidak optimal.

Sudah saatnya kondisi perpustakaan sekolah dasar diperbaiki. Perbaikan ini akan mewujudkan berpustakaan sebagai penyedia sarana baca ideal bagi anak-anak. Perbaikan ini akan memotivasi anak-anak untuk berkunjung dan membaca koleksi perpustakaan. Perbaikan yang dapat dilakukan antara lain, Pertama, koleksi perpustakaan terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual sehingga tidak memberikan kesan layanan yang monoton.

Kedua, sarana atua perabot perpustakaan perlu dilengkapi, perpustakaan dapat dilengkapi dengan pendingin udara, televisi dan komputer multimedia. Perabotan perpustakaan perlu didesain dan disusun sesuai dengan kondisi fisik anak-anak sehingga dapat memberikan kesan nyaman bagi anak. Ruang perpustakaan juga dapat dicat warna-warni dan dilukis gambar lucu sehingga menghilangkan kesan formil perpustakaan. Dengan perubahan kondisi fisik perpustakaan ini akan memberikan kesan nyaman anak berada diperpustakaan sehingga anak-anak akan rajin datang ke perpustakaan.

Ketiga, masalah SDM perpustakaan juga perlu mendapatkan perhatian. Perpustakaan harus dikelola oleh tenaga yang memiliki keahlian serta berlatar belakang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi. SDM memiliki latar belakang ilmu perpustakaan tentu mengerti bagaimana mengelola serta mengembangkan perpustakaan berdasarkan kaidah ilmu perpustakaan. Memberikan tanggung jawab pegelolaan perpustakaan kepada guru perlu dikaji ulang, guru yang memiliki tugas utama sebagai tenaga pengajar tidak akan mampu maksimal dalam pengembangan perpustakaan karena harus membagi waktunya untuk mengajar. Perpustakaan akan tutup apabila guru tersebut mendapat tugas mengajar. Keadaan semacam ini tentu dapat menghambat proses pembinaan minat baca anak.

Keempat, sebenarnya masalah terbatasan koleksi, sarana perpustakaan serta minimnya SDM perpustakaan disebabkan karena keterbatasan dana. Keterbatasan dana menyebabkan perpusakaan tidak mampu membeli buku, melengkapi sarana perpustakaan serta membayar tenaga profesional untuk mengelola perpustakaan. Sebagai solusinya di perlukan perhatian pemerintah, pengelola sekolah serta peran aktif wali murid. Pemerintah perlu memberikan perhatian bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Perhatian itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian dana bantuan pengembangan perpustakaan sekolah, kebijakan yang merangsang perkembangan perpustakaan sekolah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengembangkan perpustakaan. Pihak sekolah juga dapat mengoptimalkan keberadaan wali murid yang terhimpun dalam komite sekolah dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Wali murid dapat dimintai bantuan dalam hal pendanaan perpustakaan. Tentunya. Wali murid tidak akan segan mengeluarkan biaya bagi pengembangan sekolah karena manfaatkan perpustakaan akan kembali kepada putra-putri mereka. Selain itu pihak sekolah juga dapat menyusun proposal pengembangan perpustakaan dan mengajukannya ke perusahaan, instansi atau individu yang memiliki perhatiaan dibidang pendidikan, minat baca dan perpustakaan.

Dengan berbagai perbaikan diatas maka perpustakaan akan semakin menarik. Perubahan yang menjadi motivasi bagi siswa untuk mengakses perpustakaan. Apabila perbaikan ini dilakukan dari sekarang maka 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi bangsa yang gemar membaca. Dengan demikian berakhir sudah permasalahan minat baca yang seolah-olah menjadi perkejaan rumah yang tidak terselesaikan sampai saat ini.

http://www.heri_abi.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=33

Dewan Minta Warga Manfaatkan Sarana Sekolah


edisi: 15/Jul/2008 15:25 wib | sumber: BANGKA POS / Meliyanti
SUNGAILIAT -- Anggota dewan dapil Bakam Ahmad Asin menghimbau agar warga dapat memanfaatkan fasilitas sekolah SMP 3 Tiang Tara yang sudah dibangun.

Hal ini diketahui dari sidak ke SMP 3 Kecamatan Bakam antara Neknang dan Tiang Tara, masih banyak warga yang tidak memanfaatkan sekolah tersebut. Padahal di lokasi tersebut ada empat sekolah dasar yang meluluskan sebanyak 97 siswa tahun ini, namun yang masuk sekolah tersebut hanya 60 orang.

"Jadi saya mintalah sekolah itu dibangunkan untuk mempermudah akses lebih dekat, sedangkan 37 siswa SD yang lulus memang kita tidak tahu apakah melanjutkan di SMP yang mana atau sama sekali tidak sekolah, maka saya himbau warga agar memang menggunakan fasilitas sekolah yang sudah dibangun untuk bersekolah di SMP tersebut," ujar Ahmad Asin kepada Bangka Pos Group, Selasa (15/7).

Asin juga menyarankan bila memang keberadaan SMP 3 yang baru dibangun tersebut kurang sosialisasi agar sekolah lebih aktif mensosialisasikan sekolah yang baru dibangun tersebut.

"Saya minta ke warga disana jangan sampai tidak sekolah, karena program pemerintah cukup banyak untuk membantulah sudah ada BOS, sarana sekolah sudah ada agar dapat dimanfaatkan," ungkap Asin.

Lebih lanjut Asin mengatakan meski baru dibangun sekolah tersebut sudah memiliki tujuh tenaga pendidik yaitu Kepsek dan guru PNS satu orang serta lima orang guru honor. Asin juga meminta agar pemda kabupaten Bangka segera membangun pagar dan menyediakan aliran listrik untuk sekolah tersebut serta membangun rumah untuk penjaga sekolah. (bangka pos/h7)

http://www.bangkapos.com/breakingnews/read/3630.html

Sarana Sekolah Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan


Sarana Sekolah Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Jakarta, Pelita
Sarana dan prasarana sekolah turut andil di dalam meningkatkan mutu pendidikan di sebuah sekolah. Namun pada kenyataannya masih banyak sekolah yang tidak memiliki sarana dan prasarana yang lengkap.
Seperti masih adanya sekolah yang tidak miliki laboratorium. Padahal laboratorium adalah salah satu sarana prasarana yang cukup penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan terutama setingkat SMA.
Kualitas pendidikan tidak sekedar bergantung pada guru, tetapi juga sarana dan prasarana pendidikan yang memadai utamanya laboratoium dimana siswa bisa berpraktik, ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sarana Pendidikan Indonesia (APSPI) Iskandar Zulkarnain di Jakarta, Rabu (22/8).
Lebih lanjut Iskandar Zulkarnain banyaknya sekolah yang tidak memiliki sarana yang lengkap dikarenakan banyak faktor, diantaranya mahalnya alat sarana dan prasarana. Terlebih untuk harga peralatan laboratorium merupakan faktor yang paling banyak dikeluhkan pihak sekolah.
Apalagi kalau SMA itu milik swasta, boleh dikatakan sangat jarang yang memiliki laboratorium. Kalaupun ada sifatnya hanya seadanya atau asal ada saja. Padahal peralatan laboratorium sudah menjadi suatu keharusan bagi siswa SMA untuk memperdalam ilmunya.
Karena itu APSPI lanjut Iskandar akan mengambil peran aktif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui penyediaan alat peraga pendidikan ini. APSPI beranggotakan pengusaha sarana pendidikan yang meliputi pengusaha alat peraga pendidikan, multimedia pendidikan serta pengusaha laboratorium bahasa dan komputer.
Dalam kegiatannya nanti, APSPI berusaha menjembatani antara kepentingan sekolah, pemerintah dan pengusaha alat pendidikan.Jadi peralatan apa yang dibutuhkan sekolah, kami akan coba bantu untuk memenuhinya,kata Iskandar.
Sedangkan tujuan dari APSPI itu sendiri yaitu mewujudkan cita-cita bangsa dan negara secara aktif dalam nasional guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Undang-undang Dasar 1945.
Kemudian menghimpun, membina dan mengembangkan para anggotanya untuk dapat lebih berperan serta di dalam meningkatkan pembangunan perekonomian sosial. Selain itu melindungi kepentingan anggota dan mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dalam dunia usaha sarana pendidikan. (mth)

http://www.hupelita.com/baca.php?id=35810